Selasa, 30 Maret 2010

Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Tulisan ini tentang pemikiran Jürgen Habermas. Ditulis oleh F. Budi Hardiman, nama yang mungkin sudah tidak asing buat para peminat studi pemikiran di Indonesia, khususnya peminat pemikiran Jürgen Habermas.

Selain pada isinya, letak keutamaan tulisan ini mungkin pada bahasanya yang mudah di mengerti.

Tulisan ini diperoleh dari blog milik Saiful Arif, http://www.saifularif.com/blog/home/pikiran/ide/74-demokrasi-deliberatif-teori-prinsip-dan-praktik-.html.

Aslinya, tulisan ini adalah sebuah makalah. Ia dibawakan pada "Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi Pelaksanaan Deliberative Forum "Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah"" di Yogyakarta pada 24 Agustus 2005.

Ditampilkan di sini setelah pengeditan pada letak paragraf dan kesalahan pengetikan, juga dengan menyatukankannya sebagai satu kesatuan. Di sumbernya, tulisan ini terpecah sebagai tiga bagian tulisan.

___________


Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik
F. Budi Hardiman

TULISAN
ini hendak membahas sebuah konsep yang sekarang menjadi mode, yaitu demokrasi deliberatif. Istilah ini tampak baru, namun bila direnungkan isinya, masyarakat kita telah memilikinya. Deliberatif yang berasal dari kata deliberation, atau deliberatio dalam Bahasa Latin, adalah musyawarah, omong-omong, berunding, memberikan nasihat satu sama yang lain, berbincang-bincang, dan menimbang-nimbang.

Sebagai ilustrasi, kalau kita berpikir apakah mau menikah atau tidak, itu berarti kita sedang melakukan deliberation. Itu adalah forum internal kita dalam kepala. Tetapi kalau kita mulai omong dengan orang lain, misalnya dengan pasangan kita, apakah jadi menikah atau tidak, itu adalah forum eksternal. Itu pun merupakan bentuk deliberasi. Jadi, akar dari deliberasi sebenarnya adalah perbincangan dan komunikasi.

Oleh karena itu, demokrasi deliberatif tidak asing bagi masyarakat kita yang suka berbicara dan bermusyawarah. Kalau memang sudah biasa, mengapa demokrasi deliberatif itu harus dipelajari? Memang itu adalah hal biasa, tetapi ada yang tidak biasa dalam demokrasi deliberatif, yaitu bentuk komunikasi macam apa yang dituntut secara perfeksionis dari teori demokrasi deliberatif sehingga para aktivis yang bergerak untuk membangun forum warga misalnya juga bisa melihat bahwa proses komunikasi ada prosedurnya, pola, tatanan, dan pencapaian yang harus bisa diikuti prosesnya.

Dengan kata lain, apa yang mau disajikan dalam teori demokrasi deliberatif adalah suatu pandangan bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Mengingat sistem politik menggunakan bahasa yang berbeda dari masyarakat sipil, maka level-level komunikasi ini harus dipahami. Apa yang menurut masyarakat sipil itu merupakan aspirasi kalau tidak dikemas dengan bahasa sistem, maka ia tidak bisa dimengerti oleh sistem politik.

Teori demokrasi deliberatif sedikit banyak menjelaskan level-level bagaimana proses pembentukan opini, karier opini "dari mana opini dan menuju ke mana" penyaringan komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, saya hendak membagi uraian ini pada tiga hal, yaitu teori, prinsip, dan praktik.

Seputar Teori Demokrasi Deliberatif

Adalah Jurgen Habermas, seorang pemikir yang pada 60-an dekat dengan gerakan Marxis Kiri dan banyak menginspirasi gerakan mahasiswa tahun 1968. Pengaruhnya juga cukup besar di Amerika. Gagasan Habermas baru masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an, dan ini juga mewarnai gerakan-gerakan sosial di tanah air.

Habermas, dengan runtuhnya komunisme, mengubah cara berpikirnya. Dia tidak lagi membuat kritik terhadap kapitalisme, melainkan membuat buku-buku yang isinya menganalisa proses demokrasi dalam era pasca komunisme. Teori demokrasi deliberatif adalah salah satunya, dan Jurgen Habermas salah satu tokohnya. Ada tokoh-tokoh lain, seperti Cohen dan John Rawls yang juga diacu sebagai orang-orang yang menyumbangkan pemikiran mengenai proses deliberasi. Di tangan Habermas, teori demokrasi deliberatif menjadi cukup matang. Buku “Filsafat dalam Masa Teror” yang berisi wawancara dengan Habermas, menunjukkan bahwa di tahun 2000-an, Habermas masih konsisten berbicara mengenai proses deliberasi.

Habermas termasyhur dengan apa yang disebut dengan teori diskursus. Sederhananya, diskursus adalah perbincangan, wacana. Kata diskursus berbeda dengan speech atau saying. Discourse adalah suatu bentuk komunikasi yang tidak sehari-hari. Dalam komunikasi sehari-hari, di pasar misalnya, kita membeli cabe dan kita membayarnya, itu bukan diskursus. Tetapi, begitu kita bertanya mengapa harganya sekian dan kemarin sekian, terjadilah apa yang disebut diskursus. Ketika ada problem dan tematisasi problem, terjadilah diskursus dalam bentuk yang sederhana. Jadi, diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif yang mentematisasi sebuah problem tertentu. Dengan demikian, ada dua bentuk komunikasi, yaitu komunikasi sehari-hari dan diskursus.

Dalam setiap komunikasi, ada beberapa hal yang berperan. Lebenswelt di antaranya. Lebenswelt (Jerman), lifeworld (Inggris), atau dunia kehidupan adalah latar belakang komunikasi yang diandaikan begitu saja dan sifatnya pra-reflektif, bahkan pra-sadar, tapi nyata-nyata menuntun komunikasi kita membuat tendisensi. Tendensi itu tidak selalu buruk, tapi memungkinkan kita berkomunikasi. Tanpa lebenswelt, tidak akan ada komunikasi yang berarti.

Ada sebuah ilustrasi menyangkut lebenswelt. Suatu ketika saya menyampaikan ceramah di sebuah forum. Oleh moderator, saya diminta berhenti karena ada suara adzan. Saya bertanya, "Mengapa harus berhenti? Saya disadarkan bahwa dalam Islam, ketika dikumandangkan adzan, ada keharusan untuk berhenti sejenak hingga adzan itu usai. Bagi saya yang tidak paham, tentu saya bertanya-tanya. Ini salah satu contoh bahwa ritual pun adalah lebenswelt. Begitu saya mempertanyakan kenapa harus berhenti, terjadilah apa yang disebut diskursus. Diskursus itu membuat problem menjadi semakin jelas dan semakin rasional. Akibat diskursus, lebenswelt itu dibedah pelan-pelan, mulai ditematisasi, sehingga makin jelas. Sehingga para peserta komunikasi semakin sadar tentang kebudayaannya dan masyarakatnya secara reflektif.

Ketika kita membuat diskursus, bukan hanya lebenswelt yang berperan, tapi juga apa yang disebut klaim-klaim kesahihan. Contohnya, ketika kita berbincang-bincang tentang adzan misalnya, dan saya mempersoalkan, kenapa saya harus berhenti berbicara, bukankah ini hanya berlaku untuk pemeluk agama tertentu? Ketika bertanya begitu, dalam pernyataan saya implisit sebuah klaim kebenaran tertentu. Artinya, di balik kata-kata itu, saya sebenarnya sedang meneguhkan klaim kebenaran bahwa tidaklah bermasalah bila orang yang bukan pemeluk Islam berbicara terus meskipun adzan sedang berkumandang. Klaim kesahihan ini diam-diam ada ketika saya menyoal kenapa saya harus berhenti ketika adzan. Klaim semacam itu banyak dijumpai dalam komunikasi. Jika kita memperhatikan dan semakin sadar tentang klaim itu, maka akan terjadi diskurus yang membuat komunikasi semakin cerdas. Diskursus selalu bergerak dalam masyarakat, dan setiap upaya tematisasi akan selalu keluar dari lebenswelt: komunikasi sehari-hari yang taken for granted.

Dalam komunikasi sehari-hari, ada beragam tipe diskursus: diskursus teoretis, diskursus praktis, dan diskursus kritis. Diskursus teoretis adalah percakapan argumentatif menyangkut persoalan-persoalan yang faktual. Misalnya, harga cabe 20 ribu/kg. Si pembeli membatah, bahwa harga cabe masih 19 ribu/kg berdasarkan laporan media dan informasi lainnya. Jadi, ada upaya untuk mengecek fakta. Inilah yang disebut diskursus teoretis. Di sini ada klaim kesahihan menyangkut kesahihan harga cabe. Jadi, diskursus ini mengacu pada fakta yang kita temukan, entah dari laporan pedagang yang lain atau sumber-sumber berita resmi dari media, dll.

Berbeda dengan diskursus teoretis, diskursus praktis terjadi kalau yang menjadi problem itu adalah norma. Misalnya, apakah orang yang berbicara terus selama adzan dikumandangkan itu melanggar sopan-santun atau tidak. Kalau berbicara terus, kita tidak tahu bagaimana perasaan publik kita. Singkatnya, dalam diskursus praktis, tema yang menjadi problem adalah norma.

Terakhir, kritik. Kalau dalam diskursus itu harus ada konsensus, dalam kritik tidak perlu. Kritikus itu memberikan tilikan. Ada dua macam kritik, yaitu kritik estetis dan kritik terapoitis. Ketika ada kritikus sastra atau kritikus seni melihat karya seni apakah karya seni itu indah atau tidak, lalu terjadi diskusi, maka itu bisa disebut sebagai diskursus kritik estetis. Sementara kritik terapoitis adalah bentuk pembicaraan yang mengkritik. Misalnya, marxisme mengkritisi pencemaran lingkungan, bahwa pencemaran lingkungan itu dibiarkan begitu saja karena ada kolaborasi politis antara pemerintah dan pengusaha. Ini disebut kritik terapoitis. Disebut “terapoitis” asal katanya “terapi” karena berupaya untuk menyembuhkan masyarakat dari penindasan. Banyak contoh lain yang misalnya dilakukan oleh para analis kritik sosial.

Dari empat macam bentuk komunikasi di atas, terkadang dalam komunikasi orang memproblematisir semuanya secara komprehensif. Ini juga disebut diskursus, diskursus tentang komprehensivilitas.

Mari kita mengamati apa yang terjadi pada masyarakat. Kalau kita melihat negara modern, Indonesia misalnya, dan menganalisanya sebagai keseluruhan, setidaknya ada tiga komponen di dalamnya: negara/birokrasi (kekuasaan), pasar (uang), dan masyarakat (solidaritas).

Ada dua unsur dalam bagan ini. Unsur atas adalah negara dan pasar. Ini yang disebut sistem; dan unsur bawah yaitu masyarakat. Ini yang disebut lebenswelt. Pembedaan itu bukan semata-mata terjadi karena pembedaan analisa, tetapi juga pembedaan bentuk komunikasi. Misalnya, kalau kita bertemu dengan seseorang dan bertegur sapa, “Apa kabar, main-main ke rumahku, wah, saya mau hutang uang dan mau dibayar minggu depan,” itu adalah bentuk komunikasi sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi, mungkin Anda jengkel karena hutangnya tidak dibayar setelah ditagih berkali-kali. Lalu Anda mengundang pengacara untuk memperkarakannya di pengadilan. Komunikasi ini tidak lagi berada pada level sehari-hari, melainkan masuk dalam sistem. Singkatnya, orang yang sama bisa mewakili bentuk komunikasi yang berbeda.

Habermas melihat bahwa perkembangan masyarakat menurut pola gambar di atas. Ketika masyarakat masih sederhana, masyarakat tradisional misalnya, sistem itu kecil. Sebagai ilustrasi, di desa, birokrasi sangat lemah, interaksi lebih berbentuk interaksi kultural. Artinya sistem “birokrasi dan pasar”dalam masyarakat tradisional masih kecil, pengaruhnya sangat terbatas. Seolah-olah menjadi subsistem dari lebenswelt. Sementara lebenswelt besar.

Masyarakat pun berkembang. Melalui proses modernisasi, terjadi perubahan. Sistem mulai membesar, sementara lebenswelt terdesak, mengecil. Lalu belalai-belalai kapitalisme mulai masuk dan mengatur komunikasi. Di satu sisi, komunikasi bisa reflektif, proble-matis, di mana orang bisa semakin pandai bicara dan semakin bisa memproblematisasikan. Di pihak yang lain, karena lebenswelt semakin kecil, maka komunikasi tidak lagi taken for granted, kurang santai, bahkan tegang dan sarat konflik.

Menurut Habermas, dalam kapitalisme, yang terjadi dewasa ini adalah membesarnya sistem dan lebenswelt mengecil. Birokrasi mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, sementara kebudayaan semakin terdesak. Sebagai ilustrasi, kalau kita hendak meng-adakan seminar untuk menyukseskan pemilu, mobilisasi dana demikian mudah. Berbeda ketika kita hendak mengadakan seminar kebudayaan, mencari dana demikian sulitnya. Ini artinya, dalam konteks kapitalisme, menggunakan bahasa sistem lebih mudah dipahami ketimbang bahasa lebenswelt.

Menyaksikan perkembangan yang sedemikan rupa, apakah ini suatu malapetaka bagi eksistensi masyarakat? Habermas menyatakan bahwa saat ini, masyarakat modern yang majemuk itu masih berttahan dan tidak bubar. Kenapa? Padahal sistem besar sekali, sementara yang membuat integritas sosial adalah lebenswelt. Sistem bisa mencabik-cabik lebenswelt. Tapi mengapa masyarakat modern yang sistemnya besar dan kuat itu masih bertahan.

Menurut Habermas, itu terjadi berkat hukum. Dalam konteks ini, apa keistimewaan hukum? Hukum memiliki wajah ganda. Di satu pihak, wajah hukum bersifat instrumental strategis. Artinya, bahasa hukum bisa dipakai sebagai alat. Di lain pihak, wajah hukum bersifat komunikatif. Ini terjadi karena sebenarnya produk hukum itu harus disetujui, legitimed, dan sahih. Karena harus disetujui, sahih, dan legitimed, maka hukum harus dikomunikasikan sehingga terjadi konsensus.

Dengan demikian, hukum memiliki wajah ganda. Kalau Anda tidak puas dengan permainan hukum, Anda bisa menuntut dan mempersoalkan hukum dengan hukum itu sendiri. Artinya, hukum bukan kata akhir. Hukum adalah produk komunikasi. Kata akhir adalah komunikasi, tapi komunikasi tidak pernah berakhir. Hukum tidak pernah menjadi kata akhir, karena masih bisa dipersoalkan dalam komunikasi.

Lalu bagaimana proses menyepakati produk hukum? Ini sebenarnya inti dari deliberasi. Setiap proses komunikasi, termasuk juga menyepakati produk semisal hukum UU Sisdiknas, UU tentang Air, dll, apa yang disebut asas atau prinsip-prinsip teori diskursus itu berlaku dalam proses demokrasi. Ketika kita mau mencapai sebuah produk UU tertentu, ada prinsip yang berbunyi: keputusan/kesepakatan/produk hukum yang sahih atau mengkalaim kesahihan itu hanyalah produk hukum yang disepakati secara universal oleh setiap subyek atau orang yang terkena oleh produk hukum itu. Misalnya, ketika Pemda DKI hendak mengundangkan daerah bebas becak, maka sebelum UU itu diputuskan, ada prinsip yang tidak bisa ditolak: mengikutsertakan pihak-pihak yang terkena peraturan itu. Mereka adalah tukang becak, pemilik becak, masyarakat pengguna becak, pengguna jalan, masyarakat yang peduli becak, dan semua yang terkena aturan itu harus diandaikan menerima peraturan itu secara universal. Kalau ada satu dari mereka tidak sepakat, maka hukum itu tidak sahih.

Tentu saja ini ideal, karena prinsip memang harus ideal. Dalam kenyataan, hal ini tidak pernah dicapai. Tetapi, kalau tidak ada prinsip, maka kita permisif dengan produk undang-undang. Jika kita terlalu permisif, maka produk UU hanya menjadi kompromi politik. Tetapi kalau kita menggunakan prinsip itu, kita bisa mempersoalkan, bahkan mempersoalkan kompromi dan kepentingan menjadi sesuatu yang ideal, apakah benar UU itu mencerminkan aspirasi publik.

Dengan prinsip tadi, hukum dalam masyarakat majemuk menjadi engsel (medium) antara sistem dan lebenswelt, yaitu antara birokrasi dan ekonomi kapitalis dengan masyarakat. Jadi, hukum ini yang menjembatani sehingga kedua-duanya bisa berkomunikasi.

Ada sebuah pertanyaan yang perlu dicamkan; yakinkah kalau Anda mengajak masyarakat untuk berkomunikasi, Anda sedang menjadi generator kekuasaan tertentu atau meminjam istilah Hannah Arendt sedang mereproduksi kekuasaan? Menurut Arendt, kekuasaan tidak terletak pada kemampuan orang untuk memaksa orang lain. Karena itu bukanlah kekuasaan, melainkan paksaan, dan paksaan adalah kekerasan. Misalnya, Anda meminta menandatangani dokumen tertentu sambil Anda menginjak kaki atau menyerahkan uang. Ini bukan kekuasaan, melainkan manipulasi (menyogok) dan represi (menginjak kaki sebagai wujud ancaman).

Berbeda jika kita hendak menyepakati suatu persoalan. Kita membincang dan mendiskusikan, dan lalu terjadi persetujuan, dan persetujuan itu terjadi atas dasar komunikasi bebas. Dengan persetujuan itu, orang lain juga menyetujui dan akhirnya ada gerakan. Jadi, kekuasaan itu ada ketika orang berbicara dan bertindak bersama tanpa paksaan, solider, untuk melaksanakan aksi bersama. Kekuasaan seperti ini disebut kekuasaan komunikatif. Kekuasaan komunikatif inilah yang seharusnya ditumbuhkan dalam forum-forum deliberatif.

Habermas melihat bahwa dalam masyarakat modern, tugas kita adalah memperbesar lebenswelt dengan membangun kekuasaan komunikatif (communicative power), dengan menciptakan forum inisiatif warga. Yang ingin saya tegaskan adalah bahwa kekuasaan komunikatif ini ada ketika ada kekuasaan jaringan, jaringan komunikasi yang tumbuh, baik dalam bidang sosial, budaya, dll.

Prinsip-Prinsip Demokrasi Deliberatif

Saya berpikir bahwa era demagog telah berakhir dan seharusnya berakhir. Adalah bukan zamannya Anda berperan sebagai penggerak massa. Anda adalah disseminator atau penebar partisipasi publik. Dalam konteks ini, saya hendak membedakan dua kategori tindakan kolektif: massa dan gerakan civil society. Sebagai massa, Si A dan Si B itu sama: sama-sama mendapat duit, sama-sama ditunggangi, dan sama-sama tidak sadar apa yang terjadi di antara mereka. Tetapi, sebagai civil soceity, Si A dan Si B adalah warga negara, mereka adalah individu. Dalam proses deliberasi, individualitas sangat ditekankan.

Dalam kondisi budaya bisu (silence culture), deliberasi tidak terjadi. Karena dalam porses deliberasi harus ada apa yang disebut kompetensi komunikatif. Setiap individu dalam masyarakat mempunyai kompetensi komunikatif. Tetapi setiap kebudayaan tertentu bisa mematahkan proses komunikasi dengan membuat orang tidak berdaya dalam kompetensi komunikatif. Orang dibiarkan pasif. Tugas dari forum deliberasi adalah membangun kompetensi komunikatif. Caranya, membiarkan mereka menghargai pendapat sendiri, memberikan ruang perbedaan pendapat sehingga mereka menyadari bahwa perbedaan pendapat itu menguntungkan. Karena, dari perbedaan pendapat itu ada cukup banyak perspektif yang dibuka. Dan yang lebih penting untuk silence culture, berbeda pendapat itu tidak menakutkan, tetapi memperkaya.

Sekarang, kita menghadapi proses yang menakutkan, dalam arti bahwa berbeda pendapat sering kali menakutkan karena disertai dengan ancaman. Itu bukan komunikasi. Untuk meredam kekerasan dalam komunikasi, maka kematangan sangat penting perannya. Fasilitator harus terdiri dari orang yang sangat matang, yang mampu membuka wawasan dan cukup partisipatif, stimulatif, dan tidak memaksakan kehendak. Sehingga subyek yang paling lemah dalam forum deliberatif itu mampu mengemukakan suaranya, karena suara yang paling bodoh sekalipun adalah suara yang memiliki hak dalam deliberasi.

Implikasinya, diperlukan proses yang sangat panjang. Ketika Indonesia berubah menjadi demokrasi, orang Eropa mengatakan kepada saya, Indonesia adalah negara kepulauan, dan paling cocok dipimpin secara diktator. Kalau ia mau berubah menjadi demokrasi, dibutuhkan waktu paling lambat 10 tahun.

Bagi saya, mereka berhak mengatakan demikian. Tapi sebenarnya mereka tidak melihat ke dalam Indonesia. Kalau melihat ke dalam, sebetulnya masyarakat kita punya potensi deliberatif yang tinggi yang dalam masyarakat tradisional ada pada apa yang disebut gotong-royong dan musyawarah. Dengan musyawarah yang bebas, non-diskriminatif, non-manipulatif, sebenarnya kita telah memiliki ruang-ruang dalam masyarakat kita untuk deliberasi. Jadi tugas kita menghidupkan dan menvitalisasi potensi itu menjadi suatu gerakan.

Tipologi Diskursus Politik

Diskursus politik adalah derivasi dari diskursus praktis. Dalam konteks ini, Habermas menspesifikasi kembali diskursus praktis. Menurut Habermas, setidaknya ada tiga diskursus dalam politik, dalam arti bahwa diskursus itu terjadi dalam forum warga, media massa, parlemen, eksekutif, dan dalam komunikasi politik pada umumnya. Ketiga diskursus praktis itu adalah diskursus pragmatis, diskurus etis-politis, dan diskursus moral.

Diskursus pragmatis dapat diilustrasikan dengan, misalnya, kalau pemerintah berbicara mengenai kenaikan harga BBM dan yang diproblematisir adalah kelangkaan sumber-sumber minyak yang itu terkait dengan sumber ekonomi, APBN, dll. Diskursus semacam ini mempersoalkan teknis, untuk itu diperlukan pengetahuan expert. Dalam konteks ini, seorang pastur atau ulama walaupun dipuja oleh umatnya tidak berwenang masuk dalam diskusi itu. Karena dia bukan akuntan, bukan ahli manajemen, dan bukan ahli perminyakan. Alih-alih menyelesaikan persoalan, yang terjadi malah merunyamkan persoalan. Diskursus pragmatis ini diskursus para ahli untuk menyelesaikan kasus itu (katakanlah kenaikan harga BBM) dari segi pengetahuan ekonomis, teknologis, dan semacamnya.

Dalam diskursus ini sudah ada suatu value yang tidak diproblematisir. Yaitu bahwa (katakanlah) value-nya adalah kepentingan publik. Publik yang dimaksud adalah pemakai kendaraan bermotor. Ketika mulai mempersoalkan masalah value, maka diskursus pragmatis sampai pada kesimpulan bahwa dari segi teknis mustahil untuk mempertahankan harga BBM, karena akibatnya negara bisa bangkrut. Tetapi berbeda kalau yang dipersoalkan menyangkut persepsi masyarakat dalam arti bahwa kalau harga BBM dinaikkan, apakah itu bisa diterima oleh masyarakat, apakah tidak menyu-sahkan masyarakat, bagaimana implikasinya pada pendidikan, kebudayaan, seni, dan politik pada umumnya. Jadi, kalau sudah masuk pada value, rel diskursus beralih menjadi diskursus etis-politis. Dalam diskursus etis-politis, aktornya sudah meluas tidak saja expert, tetapi juga warga negara secara keseluruhan.

Karena diskursus etis politis bisa terjadi dalam perspektif sektarian tertentu dalam arti bisa terjadi dari nilai kebudayaan dan etnis tertentu, maka diskursus etis politis paling banter menghasilkan diskursus yang disepakati oleh kelompok kultural atau kelompok sosial tertentu. Misalnya, diskursus tentang pelarangan Ahmadiyah melalui fatwa MUI. Pelarangan ini bagi kalangan muslim merupakan persoalan internal. Tetapi kalau kita lihat klaim-klaim yang ada di sana, itu menyangkut etis-politis. Yaitu menyangkut apakah klaim-klaim itu bisa disepakati secara universal, tetapi hasilnya adalah suatu konsensus partikular karena ada kelompok yang tidak setuju dengan fatwa itu. Jika demikian, kualitas diskursif yang ada dalam konteks pelarangan Ahmadiyah adalah etis politik. Apa yang bisa disepakati oleh kelompok yang pro pelarangan tidak bisa disepakati oleh orang yang anti pelarangan misalnya. Ia menjadi kesepakatan partikular yang terbatas pada horison kelompok tertentu. Nah, tujuan dalam deliberasi adalah, diskursus etis-politik itu di tingkatkan tarafnya ke diskursus moral.

Diskursus moral itu memproblematisasi konsensus etis. Misalnya, bila fatwa MUI tadi lalu dipertanyakan validitasnya dalam konteks masyarakat majemuk, atau diskursus dalam media massa tentang mengapa keputusan itu bertentangan dengan norma-norma masyarakat majemuk, maka problem-problem itu memuat kualitas diskursus moral. Karena, para partisipan mencapai suatu konsensus di dalam horison kemanusiaan, bukan horison kelompok. Yang dibela bukanlah nilai-nilai sektarian, melainkan nilai-nilai universal.

Apa yang saya gambarkan di atas adalah teori. Tetapi apa yang terjadi jika itu muncul dalam praktik politik? Dalam konteks ini, saya menyampaikan kritik pada Habermas. Dalam praktik, apa yang disebut diskursus moral adalah sangat normatif. Diskursus moral hanyalah suatu idealisasi yang harus didekati. Sebenarnya yang selalu terjadi adalah diskursus etis politis.

Lalu apa artinya ada diskursus moral? Habermas memberikan jawaban bahwa para anggota deliberasi, forum warga, harus mempunyai intensi (tujuan) untuk melakukan diskursus moral. Forum warga yang kuat harus mempunyai kekuasaan. Dan kekuasaan dimiliki legislatif. Jadi, DPR harus menjadi teman, karena ia merupakan forum warga. Secara normatif, seharusnya mereka (DPR) memihak kita. Sebelum masuk dalam pro¬ses deliberasi, mereka (DPR) harus mempunyai intensi untuk melakukan diskursus moral. Kalau intensinya hanya sampai pada diskursus etis-politis, lagi-lagi yang dicapai adalah suatu konsensus parsial, yaitu hanya kepentingan kelompok atau partainya saja.

Prinsip Negara Hukum

Teori demokrasi deliberatif tidak mengakui revolusi, tetapi reformasi. Revolusi—dan itu selalu dengan kekerasan—tidak membiakkan partisipasi, bahkan mematikan partisipasi. Forum warga itu berupaya membangun partisipasi, dan ini hanya mungkin melalui reformasi, bukan revolusi.

Oleh karena itu, negara hukum dan konstitusi harus tetap ada sebagaimana adanya. Tetapi dalam teori demokrasi deliberatif, kanal-kanal komunikasi dalam negara hukum harus dibuka, sumbatan-sumbatan dihilangkan, akses dibuka, parlemen diharapkan semakin mendengar, koran berbicara keras mengontrol penyimpangan. Ini semua merupakan upaya-upaya untuk menarik perhatian pada sistem politik supaya kanal-kanal komunikasi dibuka, tetapi negara hukum tetap ada. Dengan demikian, prinsip-prinsip negara hukum harus tetap ada. Yaitu harus ada pembedaan antara state dan society. Batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati. Betapapun busuknya negara, menurut teori deliberasi, negara harus ada. Karena tanpa negara, ongkos politiknya akan sangat besar, terjadi tirani massa dan keuntungan akan diambil oleh para demagog dan provokator.

Teori ini sebenarnya dibangun berdasarkan pengalaman Nazi. Nazi merupakan gambaran di mana negara hukum macet. Di satu sisi, Nazi adalah kekuatan negara yang sangat besar. Itu hanya separoh kebenaran. Kebenaran yang lain adalah bahwa Nazi mencerminkan peranan kelompok masyarakat yang kuat atas kelompok yang lain. Negara hanyalah tunggangan dari kelompok yang kuat itu. Setiap saat hukum diubah-ubah seenaknya oleh Hitler. Hitler itu patuh pada hukum, tetapi hukum lebih patuh pada dia. Jadi, dia membuat hukum untuk menggolkan maksud-maksudnya.

Dalam negara hukum, civil society dan negara ada batas-batasnya. Demokrasi yang diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif atas pemerintah. Artinya, produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, namun bukan berarti publik mendikte pemerintah. Kalau batas-batas antara pemerintah dan masyarakat jebol, maka akan terjadi tirani kelompok, kemudian ada otonomi publik dan otonomi privat warga negara. Artinya, bahwa dewasa ini, kalau kita amati, media massa dimasuki belalai-belalai pemerintah. Pemerintah misalnya mengatur agar media massa itu jangan melaporkan hal ini dan itu. Sebenarnya, hal semacam ini menyalahi prinsip negara hukum. Media memiliki otonomi, dan oleh karena itu tidak boleh dikendalikan oleh modal dan birokrasi. Kalau mereka masih dikendalikan, tugas forum warga mendeteksi proses semacam itu dan menentang keras-keras se-hingga mereka merasa tidak nyaman.

Dalam politik, bahkan politik demokrasi, ada upaya untuk membeli suara publik. Memang, suara publik bisa dibeli. Tapi menurut Habermas, suara publik yang dibeli kalau ditelanjangi oleh publik sebagai suara yang dibeli, itu tidak bisa mempunyai kualitas publik lagi. Jadi, kita jangan terlalu pesimis bahwa forum deliberatif itu sia-sia dan hanya berlelah-lelah, dan kita hanya ngomong tanpa ada hasilnya. Karena kalau kita berbicara tajam dan bisa menelanjangi manipulasi-manipulasi dan itu relevan dengan kekuasaan, maka manipulasi itu akan tampak di permukaan dan akhirnya disadari oleh warga.

Kaitannya dengan ini, relevan menjelaskan tentang volante generale (kedaulatan rakyat). Kedaulatan rakyat sebenarnya adalah konsep yang sangat kabur, konsep plastis yang bisa dipakai di sana-sini. Dalam demokrasi, ada yang disebut kedaulatan rakyat. Jean Jaques Rousseau, penggagas konsep ini, mengatakan bahwa rakyat itu berdaulat kalau mereka berkumpul. Konsep ini cukup berbahaya, karena konsep ini sebenarnya konsep demagog. Seorang demagog bisa mengumpulkan orang dan mengatakan inilah kedau-latan rakyat.

Dalam teori demokrasi deliberatif terjadi apa yang disebut proseduralisasi kedaulatan rakyat. Kata prosedur yang dipakai Habermas, bahkan John Rawls, berarti proses. Proseduralisasi kedaulatan rakyat artinya adalah membuat kedaulatan rakyat sebagai proses komunikasi. Kapan rakyat berdaulat? Menurut teori deliberasi, kedaulatan terjadi bukan karena orang berkumpul dengan tubuhnya di suatu tempat sebagaimana diyakini JJ. Rousseau, tetapi juga harus ada komunikasi publik.

Dalam konteks ini, demokrasi representatif tetap diperlukan dengan sudut pandang yang berbeda. Yaitu mencoba melihat bahwa peranan komunikasi publik itu harus semakin besar. Jadi, kedaulatan rakyat terjadi bukan saja ketika rakyat berkumpul, tetapi juga ketika media massa memihak publik. Semakin suatu koran mempunyai kualitas yang berwibawa dan mampu mendesakkan aspirasi publik, maka ada kedaulatan rakyat. Tidak cukup dengan peran media, tetapi juga sebuah diskusi di antara warga negara yang peduli, misalnya terhadap pencemaran lingkungan, itu juga kedaulatan rakyat. Begitu juga obrolan yang kritis di warung-warung yang bersifat politis dan sangat peduli dengan problem sekitarnya juga disebut kedaulatan rakyat. Jadi, kedaulatan rakyat itu jangan dilihat sebagai substansi melainkan sebagai proses nasional, bahkan internasional, yang bergerak terus melalui aliran anonim komunikasi. Ini proseduralisasi dari kedaulatan rakyat menurut Habermas.

Praktik Demokrasi Deliberatif

Semua teori akan selalu berhadapan dengan datum (data) sosiologis. Apa yang terjadi dalam masyarakat? Yang kita lihat adalah kekuasaan modal, kekuasaan birokrasi, ketidakberdayaan rakyat. Kenyataan yang terjadi tentu saja tidak seindah dalam teori. Nah, bagaimana teori demokrasi deliberatif dipraktikkan dalam konteks masyarakat seperti Indonesia yang majemuk?
Untuk tahap permulaan, kalau negara baru bergerak dari otoritarianisme ke demokrasi, pasti terjadi kegagapan-kegagapan atau dalam psikologi politik ada sindrom anak kehilangan bapak. Tahap ini harus dilampaui, dan ini tidak mungkin dilampaui kalau partisipasi warga lemah. Tugas para penggerak, termasuk juga forum warga, adalah mencoba mendiseminasi partisipasi publik. Sehingga perlahan tapi pasti, tiran-tiran kecil itu merasa tidak nyaman. Kalau tahap itu dilampaui karena cukup banyak mata yang mengontrol kekuasaan dan cukup banyak komunitas yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan, maka kita masuk ke tahap berikutnya: tahap yang lebih deliberatif. Tahap ini sedang diusahakan, dan masih belum terjadi.

Sebenarnya, konsep civil society adalah konsep tua dalam teori politik. Konsep ini sudah dikenal dalam pemikiran John Lock, Thomas Hobbes, dan matang dalam pemikiran Immanuel Kant. Buku Immanuel Kant, Menuju Perdamaian Abadi: Sebuah Konsep Filosofis (Mizan: 2005), menjadi dasar dari teori-teori demokrasi, termasuk teori Habermas itu sendiri. Sebenarnya Habermas itu Kantian. Dari buku ini dipahami bahwa civil society adalah suatu masyarakat atau kelompok yang otonom, mandiri, dan lepas dari pengaruh pasar dan negara. Dia memiliki hak dan ruang yang boleh menentukan nasibnya sendiri.

Menurut penafsiran Kant, civil society itu terjadi kalau ada kebebasan berekspresi di dalam warga negara. Sebagai ilustrasi, kalau saya dan Anda berbeda kepentingan, dan dengan kewenangan saya memaksa Anda dan Anda dengan kewenangannya memaksa saya, nanti kewenangan Anda akan bertemu dengan kewenangan saya. Titik tengah dari pertemuan itu adalah kekebasan bersama.

Civil society itu terbentuk kalau, pertama, terjadi benturan kepentingan, dan kedua, kebebasan atas benturan kepentingan. Jangan sampai benturan kepentingan itu menjadi sesuatu yang saru (tabu). Jadi wajar jika masing-masing orang memiliki kepentingan yang berbeda.

Ada satu model untuk praktik yang dikemukakan Habermas, yaitu model bendungan; adanya aliran komunikasi dari forum-forum warga (civil society) menuju ke sistem politik (state). Sebenarnya model ini diambil dari teoretikus lain. Kalau kita lihat, civil society berbeda dengan ruang publik. Civil society adalah aktor dari ruang publik. Ruang publik (public sphare) adalah ruang komunikasi yang terbentuk ketika dua orang atau lebih menjalankan proses komunikasi. Apa yang terjadi dalam komunikasi? Dalam proses komunikasi ini yang terjadi adalah penyingkapan. Dengan demikian, ruang publik adalah ruang penyingkapan.

Apa yang terjadi di ruang publik? Habermas mengatakan bahwa apa saja bisa terjadi. Ruang publik itu anarki, segala tema bisa dijadikan problem dalam ruang publik. Tidak ada yang bisa melarang. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi tema ruang publik. Tapi, menurut Habermas, mesikpun anarkis, tidak berarti ruang publik itu tidak ada aturannya dan tidak ada prinsipnya. Ruang publik ada aturan dan prinsipnya. Dia mengatakan, ada prinsip yang terkait dengan rasio dan akal kita sendiri. Habermas percaya akal mempunyai mekanisme seleksi apakah opini tersebut memiliki kualitas publik atau tidak. Ketika opini semakin rasional dan semakin menyangkut kepentingan umum, maka kualitas diskursifnya akan masuk diskursus moral. Opini yang terjadi di ruang publik itu akan masuk pada filter. Filter itu adalah sistem hukum.

Apa yang dimaksud ruang publik itu bisa dibayangkan sebagai sistem saraf dalam negara hukum. Seharusnya, yang membayangkan adalah parlemen ataupun eksekutif. Kalau syarafnya peka, berarti ruang publik juga peka. Akibatnya, ini akan menolong proses deliberasi level atas. Tetapi, sebuah republik di mana DPR-nya tuli, maka ia akan membuat sumbatan-sumbatan pada filter itu, hukum yang menjadi filter tidak adil, ruang publik kacau balau, maka hancurlah semua. Tetapi andaikata ruang publik sudah begitu kritis, tapi filternya menghambat dan hukumnya tidak adil; atau DPR-nya mulai peka, tetapi proses demokrasi tidak berjalan, maka yang terjadi adalah keterasingan antara produk hukum dan kepentingan publik. Tapi andaikata sistemnya menghambat dan DPR-nya juga menghambat, berarti ini sudah kronis. Jika demikian, kata Habermas, rakyat bisa-bisa melakukan civil disobedience (pembangkangan sipil), mereka mengorganisasi diri untuk tidak patuh pada undang-undang. Kan tidak ada aturannya? Itu berdasarkan intuisi dan sense of justice (rasa keadilan masyarakat) dari masyarakat akan membimbing rasionalitas komunikatif untuk sampai pada suatu momen di mana masyarakat tidak tahan lagi dengan undang-undang ini, dan sekarang mereka akan mogok dengan UU tersebut. Lalu gerakan itu, bukan gerakan kekerasan, bukan gerakan untuk mengubah konstitusi, melainkan untuk menafsirkan konstitusi secara baru, jadi masih dalam bingkai negara hukum. Jadi ini mungkin terjadi dalam model bendungan ini.