Sabtu, 15 Mei 2010

Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan

Makalah ini ditulis oleh B. Herry-Priyono, nama yang mungkin cukup akrab dalam diskursus ekonomi-politik di Indonesia.

Bagi saya makalah ini adalah sebuah ulasan komperehensif sekaligus kritis terhadap doktrin ekonomi Neoliberal. Tidak hanya berkisah tentang sejarah munculnya istilah “Neo-leberalisme”, bahwa ia, untuk sekadar menyebutnya; pertama kali bukan muncul di Chili—tapi di Jerman sekitar 70 tahun yang lalu—, lalu mengalami banyak pergeseran arti, makalah ini juga menunjukkan bagaimana doktrin ini menyimpan soal pada dirinya.

“Neoliberalisme terlalu kerdil untuk Kebebasan,” dan “Kebebasan terlalu besar untuk Neoliberalisme.” “Akses terhadap kebebasan preferensi tentu bukan kebebasan itu sendiri”. Atau, “Bagaimana mungkin punya kebebasan preferensi jika tidak mempunyai daya beli? Dan bagaimana bisa punya daya beli bila tidak punya pundi-pundi?” Demikian beberapa ungkapan dalam makalah ini yang dengan menarik menunjukkan bagaimana normatif Neoliberalisme mengidap soal dalam dirinya itu.

Atau, seperti di paragraf pertama: Kisah tentang istilah biasanya terjalin kusut dengan salah-kaprah. Istilah ‘demokrasi’ misalnya, menyempit dalam rupa pemilihan umum, atau juga ‘kekuasaan’ menciut ke dalam sosok pemerintah. Tidak seperti otonomi ‘penanda’ dalam strukturalisme bahasa, mungkin begitulah kisah setiap kemurnian semantik yang telah jatuh ke dalam simpangsiur gejala. Sesudahnya, sejarah pemikiran lebih sering berisi pertikaian arti dalam hiruk-pikuk peristiwa. Rupanya itu pula nasib neo-liberalisme’

Rupanya neoliberalisme, selain menderita cacat mendasar pada normatifnya, juga menghadapi soal lain yang tak kalah serius: Istilah itu banyak mengalami salah pemaknaan.

Makalah ini saya peroleh dari seorang teman sekitar awal tahun 2007 lalu dalam bentuk file pdf yang saya tidak tahu diperolehnya dari mana. Oleh sebab itu untuk kali ini saya tidak mencantumkan link URL sumber. Makalah ini pula, dibanding saat pertama kali saya dapat, kini sudah cukup banyak beredar di internet.

Makalah ini di bawakan sebagai pidato pada acara “Pidato Kebudayaan” Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada 10 November 2006 lalu.

Saya akhiri komentar ini dengan mengutip paragraf 5.

"Pada akhirnya, neo-liberalisme bukan sekedar permainan istilah, dan bukan pula soal statistik ekonomi, melainkan suatu bangunan ideologi tentang manusia dan pengaturan masyarakat."

Selamat membaca.

____________


Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan
B. Herry-Priyono

Kisah tentang istilah biasanya terjalin kusut dengan salah-kaprah. Istilah ‘demokrasi’ misalnya, menyempit dalam rupa pemilihan umum, atau juga ‘kekuasaan’ menciut ke dalam sosok pemerintah. Tidak seperti otonomi ‘penanda’ dalam strukturalisme bahasa, mungkin begitulah kisah setiap kemurnian semantik yang telah jatuh ke dalam simpangsiur gejala. Sesudahnya, sejarah pemikiran lebih sering berisi pertikaian arti dalam hiruk-pikuk peristiwa. Rupanya itu pula nasib neo-liberalisme’.

Istilah ‘neo-liberalisme’ yang luas digunakan dewasa ini pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem.[1] Ekonomi-politik rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang dimaksud para pejuang itu. Dari sana istilah ‘neo-liberalisme’ menyebar. Ketika kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’ dipakai untuk menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem, meskipun negeri seperti Chile tidak lagi memakai sistem ekonomi pasar bebas se-ekstrem rezim Pinochet.

Maka mulailah kisah pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ secara amat longgar seperti sekarang. Trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi, misalnya, memang merupakan motor kebijakan ekonomi ‘neo-liberal’ di Amerika Latin waktu itu. Namun, tidak semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neo-liberal, seperti yang sering tertulis di banyak spanduk demonstrasi menentang IMF dewasa ini. Cuma, itu bukan lalu berarti neo-liberalisme identik dengan kebebasan, hanya karena di situ ada kata ‘liberal’ (liber: bebas; libertas: kebebasan); dan lalu pengritik neo-liberalisme sama dengan kaum anti-kebebasan. Kecenderungan seperti itu sering sulit dihindarkan: kita melakukan salah kaprah dalam kehebohan, tetapi menemukan kebenaran hanya dalam diam.

Salah-kaprah yang terlibat dalam pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ tentulah kisah menarik, namun juga mudah terdengar seperti dongeng. Sedangkan membahas statistik ekonomi dalam sistem yang berciri neo-liberal pasti penting, tetapi untuk malam ini akan sangat membosankan. Itulah mengapa saya memilih menghaturkan refleksi sederhana yang sedikit merenung, dan semoga berguna untuk pencarian selanjutnya. Pada akhirnya, neo-liberalisme bukan sekedar permainan istilah, dan bukan pula soal statistik ekonomi, melainkan suatu bangunan ideologi tentang manusia dan pengaturan masyarakat.

Pada Mulanya Ordo-Liberal

Perkenankan saya mulai dengan pertanyaan sederhana: “Apa yang ekstrem dari tata ekonomi pasar-bebas seperti di Chile pada masa rezim Pinochet sehingga disebut ‘neoliberal’? ”Pertanyaan itu membawa kita mundur sejenak ke masa sekitar 75 tahun lalu. Kisahnya tidak berawal di Chile atau Amerika Latin, tetapi di Jerman pada dasawarsa 1930-an, ketika istilah ‘neo-liberal’ muncul. Seperti setiap peristiwa sejarah, kisahnya tentu tidak semiskin ringkasan berikut ini.

Di awal dasawarsa 1930-an, Jerman mulai diburu hantu Fascisme yang membawa suasana ganjil campuran antara totalitarianisme dan kolektivisme. Dalam suasana itulah, sekawanan ahli ekonomi dan hukum yang terkait dengan Universitas Freiburg mulai mengembangkan suatu gagasan ekonomi-politik liberal yang kemudian disebut ‘Mazhab Freiburg’. Para anggota mazhab ini berkumpul di sekitar pemikir Walter Eucken (1891- 1950) dan Franz Böhm (1895-1977). Penyebaran gagasan mereka dilakukan melalui jurnal Ordo (kurang lebih berarti ‘tatanan’), yang diterbitkan dari kota Düsseldorf.[2] Itulah mengapa gagasan mereka kemudian disebut ‘Mazhab Ordo-Liberal’. Ordo-Liberal sering kali juga disebut ‘Neo-Liberal’, tetapi dalam pengertian sangat berbeda dari arti ‘neoliberal’ dewasa ini. Awalan ‘neo’ (baru) dipakai untuk membedakan diri dari liberalisme abad ke-18 dan ke-19, dengan memasukkan kritik dari gagasan sosialisme.

Pemikiran Mazhab Ordo-Liberal menjadi cikal-bakal desain ‘ekonomi pasar-sosial’ (soziale Marktwirtschaft) yang kemudian melandasi pembangunan ekonomi Jerman Barat setelah Perang Dunia II. Gagasan Ordo-Liberal dipandu oleh pertanyaan konkret begini: apabila persoalan kaum liberal di abad ke-18 dan ke-19 adalah bagaimana menciptakan kebebasan ekonomi dalam tata-negara yang tidak bebas,[3] masalah kaum liberal di paroh pertama abad ke-20 adalah bagaimana mendirikan tata-negara dalam suasana kebebasan ekonomi yang sudah ada.[4] Cukup pasti persoalan ini mencerminkan kegelisahan para pemikir Ordo-Liberal atas kekosongan bangunan tata-negara di Jerman yang luluh-lantak setelah kekalahan Nazi dan kejatuhan Hitler.

Singkat cerita, hasilnya adalah filsafat ‘ekonomi pasar sosial’. Pertama, di jantung filsafat Ordo-Liberal adalah gagasan anti-naturalistik tentang ekonomi pasar. Artinya, ‘pasar’ (market) bukan peristiwa alami seperti musim semi atau tsunami, tetapi satu dari beragam relasi yang diciptakan manusia. Karena itu, pasar dapat dibentuk, dihancurkan, dan diubah menurut desain kita. Masalah sentral bukan apakah ‘pasar’ bebas atau tidak bebas – pasar yang tidak-bebas adalah contradictio in terminis –, tetapi bahwa kinerja pasar selalu butuh Vitalpolitik, yaitu tindakan politik membentuk nilai-nilai moral dan kultural bagi pengadaan barang/jasa ekonomi, dan sekaligus untuk mencegah kolonisasi prinsip ekonomi pasar atas bidang-bidang moral dan kultural.[5] Tujuan Vitalpolitik adalah menciptakan sederetan kondisi bagi kinerja pasar secara adil. Namun, itu juga berarti pemisahan tegas antara ‘ekonomi’ dan ‘politik’ merupakan ilusi.

Kedua, karena pasar merupakan salah satu relasi yang diciptakan untuk membantu pengadaan kebutuhan barang/jasa bagi hidup-bersama, dinamika perubahan sosial tidak dapat diserahkan kepada kinerja pasar tanpa kerangka tata-sosial. Itulah mengapa Ordo-Liberal menolak determinisme perubahan menurut dalil ekonomi ala laissez-faire dan juga Marxisme ortodoks. Bagi Ordo-Liberal, fokus perdebatan tentang perubahan bukan terletak dalam pertanyaan sejauh mana bidang/relasi sosial-politik-kultural digerakkan oleh ekonomi pasar (seperti dalam neo-liberalisme sekarang), tetapi sejauh mana kinerja pasar membantu terjadinya ‘kontrak sosial’.[6] Dalam arti ini, premis Ordo-Liberal tentang manusia bukanlah homo oeconomicus, tetapi homo socialis.[7]

Ketiga, berdasarkan premis itu, agenda transformasi ekonomi terletak dalam upaya mengubah kapitalisme secara terus-menerus menurut visi ‘kontrak sosial’. Gagasan Ordo-Liberal berjalan dalam tegangan antara individualitas kebebasan dan sosialitas tatanan.[8] Tugas tata-pemerintahan melalui berbagai kebijakan adalah menjaga tegangan itu, dan bukan menghapus salah satu kutub dengan menerapkan komando sentral ataupun menyerahkan pembentukan tatanan sosial kepada kinerja pasar. Sentralisme ala Soviet bukanlah akibat alami dari utopia sosialitas tatanan, dan gejala konsentrasi kekuasaan bisnis di tangan perusahaan-perusahaan raksasa juga bukan nasib alami kinerja pasar.[9] Keduanya adalah produk strategi ekonomi-politik yang gagal.

Pokok-pokok itu mungkin terasa membosankan. Dan gerutu kita berisi pertanyaan: “Apa kaitan semua itu dengan soal neo-liberalisme dalam pengertian dewasa ini?” Begini ringkasnya. Sebagaimana setiap mazhab tidak berisi keseragaman gagasan, begitu pula di dalam jaringan Ordo-Liberal terdapat beberapa sekte pemikiran. Jaringan Ordo-Liberal dihuni oleh banyak pemikir yang terutama terkait dengan Mazhab Freiburg (Jerman) dan Universitas Chicago (Amerika Serikat).[10] Dalam perkembangan selanjutnya, keragaman pemikiran mereka terbelah ke dalam sekurangnya tiga aliran ekonomi.[11]

Sekte pertama biasanya disebut kaum ‘liberal sosial’ (social liberals), berkumpul di sekitar pemikir Karl Schiller.[12] Mereka percaya bahwa ekonomi pasar harus dijalankan untuk pengadaan berbagai barang/jasa, meskipun tidak semua. Tetapi mereka juga punya kecurigaan mendalam terhadap kecenderungan perluasan prinsip pasar ke bidang-bidang lain. Maka mereka menggagas, kompetisi ekonomi harus dijalankan sejauh mungkin, tetapi bila kompetisi membawa konsentrasi kekuasaan dan marginalisasi, intervensi harus dilakukan melalui regulasi. Bagi anggota kelompok ini, sistem ekonomi yang baik adalah ekonomi-pasar yang dikawal regulasi (regulated market economy).

Sekte kedua terdiri dari para pemikir inti Ordo-Liberal seperti Eucken dan Böhm. Mereka menaruh kecurigaan ganda baik terhadap intervensi lewat regulasi, maupun pada ciri alami kompetisi pasar. Antara pendulum intervensi-regulasi dan kompetisi-alami, mazhab ini menggagas ekonomi pasar bukan sebagai relasi yang terpisah dari semesta relasi politik, kultural dan sosial, melainkan “tertanam” dalam semesta relasi-relasi itu. Kunci pendekatan ekonomi bukan terletak dalam ‘regulasi’, dan juga bukan pada ‘tangan tak kelihatan pasar’, tetapi dalam kerangka institusional yang membuat relasi-relasi ekonomi, kultural, politik, hukum serta moral terjalin erat satu sama lain sebagai tatanan sosial.[13] Ekonomi yang baik adalah ‘ekonomi pasar sosial’ (social market economy).

Sekte ketiga terdiri dari para pemikir ekonomi Mazhab Austria (seperti Friedrich von Hayek) dan Mazhab Chicago (seperti Milton Friedman) yang berjaring dengan Mazhab Freiburg. Inilah mazhab yang kemudian disebut kaum ‘libertarian’. Mereka mulai dari premis bahwa semua bentuk tatanan yang baik terbentuk secara spontan dari prinsip kebebasan, dan kebebasan itu hanya terlaksana dalam tatanan yang terbentuk dari relasirelasi spontan. Ekonomi pasar-bebas adalah locus dan model spontanitas serta kebebasan itu, dan semua bentuk ekonomi planning adalah “jalan menuju perbudakan”.[14] Oleh karena itu, segala batasan politik, kultural, sosial, dan hukum serta regulasi pemerintah harus se-minimal mungkin. Andaipun dilakukan, aturan hanya boleh bersifat ‘negatif’. Artinya, “jangan campurtangan”. Hak atas hidup, misalnya, diartikan sebagai hak untuk tidak dibunuh, dan bukan hak atas pangan.[15] Sistem ekonomi yang baik adalah ‘ekonomi pasar bebas’ (free market economy).

Dari gagasan mazhab libertarian inilah kemudian berkembang arti neo-liberalisme dalam pengertian seperti sekarang.[16] Penggerak utamanya adalah para ekonom yang terkait dengan Universitas Chicago setelah Perang Dunia II, seperti Milton Friedman, Friedrich von Hayek, Gary Becker, George Stigler.[17] Keterkaitan awal mereka dengan para pemikir Ordo-Liberal – yang juga sering diberi nama ‘Neo-Liberal’ – membuat mereka kemudian disebut ‘kaum neo-liberal mazhab Chicago’. Syahdan, para mandarin kebijakan ekonomi rezim Augusto Pinochet adalah sekelompok ekonom Chile murid para libertarian di Universitas Chicago ini. Itulah yang rupanya membuat para pejuang demokrasi di Amerika Latin lalu menyebut para “Chicago boys” ini sebagai kaum neoliberal. [18] Begitulah metamorfosis istilah dalam kekusutan kisah sejarah.[19]

Penyulut kontroversi tentulah bukan soal peristilahan, tetapi gagasan mazhab ini yang kemudian menyusup ke dalam berbagai kebijakan. Dengan itu kita sampai pada inti dari apa yang dimaksud neo-liberalisme dewasa ini.

Perentangan Homo Oeconomicus

Neo-liberalisme pertama-tama bukan urusan ekonomi, tetapi suatu proyek filosofis yang beraspirasi menjadi teori komprehensif tentang manusia dan tatanan masyarakat.[20] Gagasan neo-liberalisme kira-kira dapat diringkas begini. Ragam relasi manusia bisa saja disebut kultural, politik, legal, sosial, psikologis, estetik, spiritual dan seterusnya. Namun, bila harus dikatakan secara lugas, beragam relasi itu dipandu oleh prinsip transaksi labarugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar.[21]

Barangkali kita segera bertanya: selain terlalu simplistis, bukankah dengan itu neoliberalisme menyingkirkan prinsip ‘kebebasan’ yang justru merupakan wasiat keramat ‘liberalisme’? Tidak! Dengan amat cemburu para pemikir neo-liberal tetap merawat akar kebebasan. Tetapi soalnya kebebasan bukan perkara metafisik. Justru karena bukan soal metafisik, urusannya bergeser ke soal menemukan wujud konkret yang menjelmakan spontanitas dan kesukarelaan yang diemban oleh gagasan kebebasan. Timbul pertanyaan: “mengapa bukan relasi afeksi atau estetika?” Ya, itu kandidat yang kuat. Cuma, rupanya para psikolog dan seniman tidak cukup berambisi mengajukan teori penataan masyarakat se-ambisius para pemikir libertarian Mazhab Chicago.

Bagi para ekonom libertarian ini, tak ada avatar spontanitas dan kesukarelaan yang lebih sempurna daripada relasi dalam pasar-bebas. Friedrich Hayek dan Milton Friedman paling tegas mengajukan pokok ini.[22] “Kapitalisme”, tulis Friedman, “adalah prasyarat kebebasan politik”.[23] Justru karena itu, perhatian utama ditujukan pada corak spontanitas yang berlangsung di pasar bebas. Corak spontanitas dan kesukarelaan dalam transaksi ekonomi pasar adalah model kebebasan sejati. Manusia tentu seperti taman keragaman: ia homo culturalis, homo politicus, homo legalis, homo spiritualis, dan seterusnya. Akan tetapi, di kedalaman sana ia pertama-tama adalah homo oeconomicus.[24] Dalam bahasa Gary Becker, salah seorang ekonom Mazhab Chicago, “ekonomi memberikan semesta pendekatan paling komprehensif untuk memahami semua perilaku manusia....”[25]

Apa yang kemudian berkembang adalah determinisme ontologis tentang kodrat manusia. Seperti setiap determinisme ontologis, ia terjalin satu dengan determinisme epistemologis (cara-berpikir), yang pada gilirannya memperanakkan determinisme etis. Jadi, pada mulanya adalah agenda untuk menemukan wujud sempurna relasi spontanitas dan kesukarelaan dari kebebasan. Tatkala avatar tertinggi spontanitas dan kesukarelaan itu ditetapkan bersemayam dalam model kebebasan transaksi ekonomi pasar, berkembang pula patokan tentang siapa manusia, bagaimana ia harus menjadi, bagaimana ia harus berpikir serta dipikirkan, dan tentu saja bagaimana ia harus bertindak serta berelasi.[26] Di ujung hari, neo-liberalisme berisi proyek normatif tentang bagaimana manusia dan tata masyarakat harus menjadi. Dan homo oeconomicus adalah model manusia sejati.[27]

Genius neo-liberalisme bukan terletak dalam gagasan ekonomi, yang sesungguhnya hanya radikalisasi prinsip pasar menuju konsekuensi terjauhnya. Apa yang menggetarkan adalah bahwa neo-liberalisme merupakan proyek normatif mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip pasar-bebas.[28] Jika proyek liberalisme ekonomi bergerak dengan prinsip bahwa alokasi banyak barang/jasa harus ditentukan oleh kinerja pasar, neo-liberalisme melakukan radikalisasi dengan menggagas “semua relasi manusia ditentukan oleh kinerja pasar” dan menuntut “prinsip pasar diterapkan bukan hanya pada alokasi barang/jasa”.[29] Jika dalam liberalisme ekonomi abad ke-19, prinsip pasar diterapkan dalam pengadaan barang seperti, misalnya, pakaian dan perhiasan, dalam proyek neo-liberalisme prinsip itu diterapkan juga untuk pengadaan pendidikan dan kesehatan.[30] Bagaimana itu ditempuh?

Pertama, dengan proyek normatif memandang semua relasi manusia sebagai relasi pasar, neo-liberalisme mengajukan homo oeconomicus sebagai teori kodrat manusia yang diterapkan dalam bidang politik, hukum, sosiologi, psikologi, sejarah, kriminologi, dan seluruh ilmu-ilmu manusia serta humaniora.[31] Karena penjelmaan paling sempurna homo oeconomicus adalah pelaku bisnis, model cara-berpikir dan cara-bertindak adalah sosok pengusaha.[32] Pengusaha adalah model manusia sejati, dan karena itu juga punya status istimewa dalam proyek neo-liberal. Itulah yang menjelaskan mengapa para eksekutif perusahaan, “yang pada masa lalu dipandang dengan sebelah mata, tiba-tiba kini laksana para pangeran yang gagah menunggang kuda putih”.[33]

Kedua, karena model manusia sejati adalah pengusaha, setiap orang perlu melihat dan mengubah dirinya sesuai idiom bisnis dan pasar. Artinya, apa saja yang ada padanya – dari uang sampai tanah, dan dari kecantikan sampai ijazah – adalah modal (capital) yang mesti diubah menjadi laba, sama seperti cara-berpikir dan bertindak sang pengusaha kayu yang mengubah hijau hutan menjadi kayu gelondongan dan laba. Ringkasnya, “seluruh gugus relasi kehidupan adalah perusahaan”.[34] Dengan itu berkembang “iklim kultural baru, yaitu tata-kelola identitas diri dan relasi-relasi yang didasarkan pada kapitalisasi kehidupan”.[35] Ekonom Ben Fine yang melacak problematik ini sampai pada kesimpulan bahwa istilah ‘modal kultural’, ‘modal sosial’ dan ‘modal spiritual’ yang luas dipakai dewasa ini tidak diambil dari pengertian yang pernah diajukan Pierre Bourdieu, pemikir Perancis, tetapi dari proyek ekspansi idiom neo-liberal.[36]

Ketiga, karena setiap orang adalah pengusaha swasta, apabila ia jatuh menganggur atau miskin, itu disebabkan kesalahannya sendiri. Kemiskinan dan pengangguran bukan masalah sosial, melainkan kegagalan mengubah aset-diri menjadi laba. Solusinya bukan social welfare, tetapi individual self-care.[37] Karena soalnya individual self-care, program jaminan sosial kehilangan alasan adanya. Meskipun neo-liberalisme tidak identik dengan privatisasi, kita segera mengerti apa yang terjadi di balik gelombang privatisasi bidang-bidang seperti pendidikan dan kesehatan. Tidak ada kesehatan, tetapi bisnis rumah-sakit; tak ada pendidikan, tapi bisnis sekolah. Bukan pasien, melainkan konsumen pengobatan; bukan guru, melainkan penjual pelajaran. Pada akhirnya tak ada lagi perbedaan antara ‘ekonomi pasar’ (market economy) dan ‘masyarakat pasar’ (market society), lantaran seluruh gugus relasi yang membentuk ‘masyarakat’ telah diubah menjadi relasi pasar.[38]

Keempat, dari situ hanya butuh langkah kecil untuk melihat implikasinya bagi tatanegara. Sesudah homo oeconomicus menjadi model perilaku manusia (dan logika pasar menjadi prinsip koordinasi masyarakat), ‘pemerintah’ (government) menjadi pemerintah ekonomi (economic government).[39] Menyebut “negara sebagai perusahaan adalah idiom khas neo-liberal, dan bukan liberal”.[40] Para pejabat pemerintah adalah “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, atau sumberdaya apa saja yang bisa ditawarkan kepada investor. Policy disebut sukses bila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam pertanian maupun mall, sekolah maupun rumah-sakit. Pada akhirnya prinsip pasar tampil sebagai hakim yang mengadili apakah kebijakan disebut sukses atau gagal; bukan hanya dalam produksi sepeda motor, tetapi juga dalam pengadaan pendidikan dan kesehatan.[41] Trend menilai sukses-gagalnya semua kebijakan pemerintah menurut kesesuaiannya dengan prinsip pasar ini juga bukan kecenderungan liberal, melainkan khas neo-liberal.[42]

Kelima, ada trend menarik lain. Perentangan prinsip pasar tidak hanya dilakukan ke bidang-bidang yang secara tradisional bukan wilayah ekonomi, tetapi juga dijalankan dengan menciptakan cabang serta ranting transaksi baru dari transaksi-transaksi yang sudah ada. Dalam transaksi pasar antara si A dan B, misalnya, diciptakan sekian banyak sub-transaksi turunannya.[43] Dengan itu terjadilah ledakan transaksi pasar, ledakan proses kapitalisasi, dan laba diciptakan dari relasi-relasi yang pada awalnya tidak dianggap menghasilkan laba. Maka, tulis David Harvey, “neoliberalisme juga berarti finansialisasi segalanya”.[44] Cukup pasti, ledakan dan kecepatan pembengkakan volume transaksi pasar ini sangat dibantu oleh revolusi teknologi komunikasi. Dengan itu terjadi kontrol makin besar oleh sektor ekonomi finansial atas sektor-sektor ekonomi lain, bahkan atas aparatus negara serta arus kehidupan sehari-hari.[45]

Itulah yang menjelaskan ledakan jumlah brokers dan makelar dalam kondisi neoliberal. Itu pula yang menjelaskan terjadinya ledakan transaksi finansial maya dalam rupa hedge funds, derivatives, forward, futures, dan semacamnya.[46] Dari proses suatu transaksi pasar diciptakan beberapa sub-transaksi, kemudian dari beberapa sub-transaksi pasar itu diciptakan lagi berbagai sub-sub-transaksi lain. Begitu seterusnya, sampai transaksi awal antara A dan B tenggelam dalam sekian banyak sub-transaksi dan sub-sub-sub transaksi antara. Melalui proses ini muncul apa yang disebut ‘ekonomi maya’,[47] dengan buihnya yang sering samasekali tak punya kaitan apapun dengan perkembangan ‘ekonomi sektor riil’.[48] Contohnya, jual-beli surat jaminan dan spekulasi nilai tukar uang (ekonomi maya) menjadi jauh lebih berkembang daripada produksi sepatu dan tambak udang (ekonomi riil). Ratapan atas gejala de-industrialisasi, kemacetan dan kehancuran ekonomi sektor riil bukannya tidak terkait dengan gejala ini.

Ringkasnya, dalam proyek neo-liberalisme, “tidaklah cukup prinsip pasar diterapkan pada barang/jasa ekonomi; ia harus diterapkan di bidang lain. Tidaklah cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar”.[49] Berbeda dengan peristiwa alam seperti tsunami atau gempa bumi, apa yang menggelisahkan tentang proyek neo-liberalisme adalah bahwa ia bergerak menurut dalil self-fulfilling prophecy. Artinya, kemungkinan dan ketidakmungkinan terjadinya sangat tergantung pada kepercayaan kita. Semakin kita percaya kemungkinan proyek neo-liberalisme, semakin ia akan terjadi; dan sebaliknya.[50]

Tentu, pokok-pokok yang saya haturkan di atas hanya sebuah pembacaan atas tanda-tanda zaman. Mungkin berguna, mungkin tidak berguna. Apa yang saya mengerti hanya bahwa kita yang menghuni kondisi sejarah seperti ini dibebani oleh ambivalensi, atau kemenduaan arti. Dan saya tidak menganggap ambivalensi itu sebagai “kutuk” melainkan “berkah”, karena lalu saya tidak perlu menelan apa yang terjadi secara mentah-mentah.

Neoliberalisme terlalu Kerdil untuk Kebebasan

Dengan proyek normatif neo-liberal, tiba-tiba berkembang semacam revolusi yang digerakkan oleh kompetisi. Gerbang penciptaan laba dibuka bagi siapa saja yang berpikir dan bertindak sebagai homo oeconomicus, karena jenis relasi yang dapat diubah menjadi transaksi pasar ada di mana-mana. Tidak ada sultan, tidak ada orang pinggiran, sebab pintu dibuka secara sama untuk semua orang. Seperti dalam setiap kompetisi, kita bisa ikut, minggir, atau kena libas. Kebebasan adalah kesamaan kesempatan.

Pada titik ini mungkin kita mulai bertanya-tanya. Bila pilihannya hanya ikut, minggir atau kena libas, bukankah cukup pasti proyek normatif itu merupakan proyek tertutup? –juga seandainya berangkat dari prinsip kebebasan. Atau, mungkinkah ‘kebebasan’ yang sedang coba diemban proyek neo-liberal telah mengalami penciutan? Dan sebagaimana setiap penciutan, ia terlalu kerdil merawat keragaman yang selalu elusif pada manusia.

Tidak perlu ilmu khusus untuk mengenali apa yang ganjil dalam gagasan neo-liberal tentang kebebasan. Sesudah homo oeconomicus dipatok sebagai teori kodrat dan perilaku manusia, keragaman perilaku dan dimensi manusia dibentuk dengan normatif homo oeconomicus pula.[51] Maka relasi-relasi dengan orang lain (yang juga dilihat sebagai homo oeconomicus) hanya mungkin dimengerti dengan idiom oeconomicus pula. Dan idiom oeconomicus adalah prinsip pasar. Karena apa yang disebut ‘masyarakat’ terbentuk dari berlaksa-laksa relasi antara orang-orang itu, padahal orang-orang itu dilihat sebagai para ‘makhluk ekonomi’, dalil pasar pula yang harus digunakan sebagai prinsip koordinasi masyarakat. Bukan visi politik atau sosiologi yang memandu penataan masyarakat, tetapi ekonomi; tentu saja ‘ekonomi’ menurut visi proyek neo-liberal.

Dalam prinsip pasar, kebebasan adalah kebebasan memilih menurut selera pribadi, atau ‘preferensi’ dalam terminologi ekonomi: eligo ergo sum (saya memilih maka saya ada).[52] Andai kita berhenti di renungan metafisik kebebasan preferensi, semuanya tentu terdengar indah. Akan tetapi, homo oeconomicus tidak pernah tahan dengan kegelapan metafisika, juga seandainya tentang kebebasan. Maka terjadi siasat begini. Akses pada ‘kebebasan preferensi’ tentu bukan kebebasan preferensi sendiri, karena hal itu berarti self-referential. Lalu apa? Jawabannya sederhana: daya beli (purchasing power). Maka mulailah sihir-metafisika jatuh ke dalam materialitas-gejala. Bagaimana mungkin punya kebebasan preferensi jika tidak mempunyai daya beli? Dan bagaimana bisa punya daya beli bila tidak punya pundi-pundi?

Jadi, bila dilacak mundur, kebebasan ditempuh lewat rute-rute berikut ini: kebebasan mensyaratkan kebebasan preferensi, kebebasan preferensi mensyaratkan daya beli, daya beli mensyaratkan pemilikan pundi-pundi. Lalu apa jalan menuju pemilikan pundi-pundi? Dalam proyek neo-liberal, pemilikan uang hanya dapat terjadi bila kita (persis seperti sang pengusaha) mempekerjakan apa saja dalam diri kita sebagai ‘modal’ (capital) yang secara abadi harus dikembang-biakkan menjadi ‘laba’ (profit). Itulah mengapa pilar utama proyek neo-liberal adalah kapitalisasi semua relasi. Itu pula yang menjelaskan ekspansi proses komersialisasi ke semakin banyak aspek kehidupan – dari warna rambut sampai pengetahuan, dari biji padi sampai jabatan.

Apakah itu “baik” atau “tidak-baik” adalah pertanyaan evaluasi etis. Apa yang pasti bisa dikatakan hanya bahwa setiap gejala tertangkap dalam kemenduaan arti, dan karena itu juga selalu dibebani kontradiksi. Proyek neo-liberalisme bekerja laksana cemeti yang secara permanen mencambuki kita untuk melakukan renovasi kemampuan diri, juga bila renovasi itu dilakukan untuk agenda transaksi pasar. Itu adalah berita baik, sebab para pemalas akan dihukum. Dalam gagasan neo-liberal, tak ada tindakan yang bersifat for its own’s sake. Hidup adalah pacuan, dan karena itu terberkatilah si cepat![53]

Tetapi pada saat yang sama, sebagaimana dalam setiap pacuan, si lambat senantiasa merangkak-rangkak di urutan belakang. Dan dalam proyek neo-liberal, ketertinggalan itu bukan karena kesalahan pacuan, melainkan karena kesalahan si lambat sendiri yang gagal merenovasi diri menjadi si cepat. Istilah “si cepat” bisa dimengerti secara harafiah, tetapi juga dapat dipahami sebagai nama lain bagi si muda, si tampan, si cekatan, si kaya, dan seterusnya. Sebaliknya, “si lambat” juga dapat dipahami sebagai sebutan bagi si tua, si cacat, si buruk rupa, si gagap, si tidak-trampil, si miskin, dan seterusnya. Entah yang mana, dalam proyek neo-liberal soalnya bukan ketuaan atau kemiskinan itu sendiri, tetapi ketuaan dan kemiskinan telah mengutuk-nya ke dalam daya-beli rendah yang abadi. Ia harus minggir dari transaksi, atau me-renovasi diri, sebab dalam transaksi pasar berlaku prinsip “pembeli tertinggi adalah pemenang”. Kalau sebagian besar penduduk adalah “si lambat”, gambar yang tampil tentu saja proyek neo-liberal sebagai oligarki ekonomi.[54]

Sulitnya, di telinga orang yang menganggap oligarki ekonomi sebagai konsekuensi netral dalil fisika-sosial, ratapan atas “kutukan abadi pada si lambat” ini segera terdengar sebagai serapah anti-pasar, anti-uang, anti-kemajuan, atau anti-kebebasan. Dan tendensi itu sangat kuat, sebab untuk banyak orang yang memeluk proyek ini, neo-liberalisme identik dengan ‘kebebasan’. Seperti akan jelas di bawah nanti, soalnya adalah bahwa kita sering memandang ‘kebebasan’ sebagai konsep homogen: ‘kebebasan beragama’ dilihat punya isi sama dengan ‘kebebasan modal’, ‘kebebasan berpikir’ dilihat sama-sebangun dengan ‘kebebasan ekonomi’. Kecenderungan ini yang mungkin menjelaskan mengapa beberapa pejuang kebebasan berpikir dalam agama dengan mudah direkrut oleh thinktank ekonomi neo-liberal. Mereka mengira sedang memperjuangan ‘kebebasan’ yang sama, hanya karena mereka sama-sama memakai kata ‘kebebasan’.[55]

Tentang proyek neo-liberal, mungkin ada gunanya ditegaskan bahwa soalnya bukan ‘kebebasan’, tetapi aksesnya yang secara mutlak tergantung pada ‘daya beli’. Soalnya bukan pula terletak pada kinerja ‘daya beli’ dan ‘uang’ dalam ekonomi, tapi pada seleksi penikmatan kebebasan yang didasarkan pada tiket ‘daya-beli’. Begitu pula masalahnya bukan ‘laba’ dan ‘pasar’, melainkan aplikasi prinsip pasar pada seluruh aspek kehidupan. Seperti ditunjuk Susan George, “bisnis dan pasar punya wilayah kinerjanya sendiri, tetapi wilayah itu tidak dapat memangsa seluruh ranah eksistensi manusia”.[56] Dengan totalisasi itu, prinsip pasar dalam proyek neo-liberalisme malah kehilangan genius-nya.[57] Gagasan ‘ekonomi pasar sosial’ Ordo-Liberal (yang membatasi kinerja prinsip pasar pada komoditas ekonomi) justru merawat genius pasar.

Kalau soalnya bukan pasar, bukan uang, bukan ekonomi, dan juga bukan kebebasan, lalu apa masalahnya? Jika saya harus menjawab, jawaban saya begini: neo-liberalisme terlalu kerdil untuk kebebasan, atau kebebasan terlalu besar untuk neo-liberalisme. Lalu apa yang tersisa dari kaitan ‘kebebasan’ dan ‘neo-liberalisme’? Pertanyaan ini membawa kita ke persoalan yang lebih tersembunyi.

Kebebasan terlalu Besar untuk Neoliberalisme

Di jantung ‘kebebasan’ modern adalah gagasan tidak-adanya pembatasan pada seseorang.[58] Mengapa tiadanya pembatasan sentral bagi kebebasan? Karena kebebasan menyangkut tindakan, dan kebebasan tindakan dibatasi oleh rintangan yang timbul dari tindakan orang lain, juga seandainya tidak disengaja. Tetapi, mengapa pembatasan yang timbul dari tindakan orang lain meniadakan/mengurangi kebebasan? Karena ada-tidaknya pembatasan menentukan ada-tidaknya alternatif tindakan. Jadi, pada akhirnya kebebasan menyangkut ‘tindakan’ (action) dan ‘pilihan’ (choice).[59] Kebebasan tergantung bukan hanya dari tidak-adanya pembatasan, tetapi juga dari tersedianya sarana untuk melakukan pilihan tindakan. Namun itu juga berarti, tanpa adanya sarana, orang tak bebas bertindak, meskipun ia tidak dibatasi oleh siapapun. Dalam arti ini, makanan dan pakaian pastilah prasyarat paling mendasar untuk kebebasan bertindak.[60] Kebebasan berbicara, misalnya, tak hanya mensyaratkan tidak-adanya batasan (misalnya sensor), tapi juga mensyaratkan adanya sarana (misalnya, dalam seminggu terakhir ia makan sehingga dapat berbicara).

Segera muncul soal besar. Jika intinya memang “kebebasan bertindak dan kebebasan memilih yang dianggap bernilai”, padahal apa yang bernilai belum ditetapkan, kebebasan lalu ibarat jalan kosong dan rata (flat), lantaran semua jenis tindakan serta pilihan sejajar dan sama. Kebebasan yang homogen (homogenous) itu bagaikan rumah indah tanpa penghuni.[61] Maka, kebebasan sebagai sihir-metafisika tidak-bisa-tidak menjelma ke dataran materialitas-gejala. Penjelmaan itu penuh brutalitas.

Ambillah ‘kebebasan berbicara’ sebagai contoh. Kalau ‘kebebasan berbicara’ begitu penting, dari mana pentingnya kebebasan berbicara? Dari pentingnya kebebasan, ataukah dari pentingnya berbicara? Pengejaran seperti ini mungkin terdengar mengada-ada, tetapi bukannya tidak diperlukan. Jika kebebasan memang menyangkut tindakan dan pilihan, pentingnya kebebasan berbicara tentu diturunkan dari pentingnya ‘berbicara’, dan bukan dari pentingnya ‘kebebasan’. Karena tindakan berbicara (dan memilih berbicara perihal X atau Y) amat penting, kita membutuhkan kebebasan. ‘Kebebasan bekerja’ bukan datang dari pentingnya ‘kebebasan’, tetapi dari pentingnya ‘bekerja’. Begitu pula ‘kekebasan berkumpul’, ‘kebebasan beragama’, dan seterusnya. ‘Kebebasan modal’ (free movement of capital) bukan datang dari ‘kebebasan’, tetapi dari pentingnya ‘gerak modal’.

Dari litani itu tampak, selama belum terjadi penetapan bahwa suatu tindakan/pilihan dianggap lebih penting dibanding tindakan/pilihan lainnya, ‘kebebasan’ tetap berupa metafisika yang rata (flat). Akan tetapi, menjelmakan sihir-metafisik kebebasan ke dalam materialitas-gejala juga berisiko membuat konsep ‘kebebasan’ kehilangan isi yang mau diemban, yaitu ‘kesamaan’ (equality). Maka kita terdampar di belantara dilema.

Dalam ungkapan yang kasat indra, soalnya bisa dicontohkan begini. Bagaimana bila terjadi konflik antara, misalnya, ‘kebebasan gerak modal’ dan ‘kebebasan untuk bekerja’? Yang pertama melibatkan kebebasan para investor untuk datang dan pergi (entry-exit), sedangkan yang kedua menyangkut hak para buruh atas kerja-upahan. Seperti luas kita saksikan, konflik itu bukan lagi gejala kekecualian. Solusi atas tegangan itu telah menyita banyak perdebatan,[62] dan untuk meringkasnya bahkan butuh traktat tersendiri.

Apa yang relevan bagi kita adalah, proses publik menetapkan tindakan/pilihan mana yang lebih penting dibanding tindakan/pilihan lain itu telah menjadi penentu jalannya kisah ‘kebebasan’. Apa yang menggetarkan dari proyek neo-liberalisme bukan bahwa ia mengemban ‘kebebasan’ atau tidak-mengemban ‘kebebasan’, tapi bahwa neo-liberalisme memakai cara yang menakutkan dalam menetapkan secara publik bagaimana kebebasan tindakan/pilihan yang satu lebih penting dibandingkan kebebasan tindakan/pilihan lain. “Dalam konflik antara hak-hak yang sama atas kebebasan”, tulis Harvey, “kekuasaanlah yang menentukan”.[63] Soal ini membawa kita kembali ke jantung gagasan neo-liberalisme.

Sebagaimana telah disebut, di jantung neo-liberalisme adalah gagasan bahwa suatu tindakan disebut lebih bernilai dibanding tindakan lain apabila tindakan itu menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Itu ungkapan lain dari pernyataan bahwa jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai dibanding kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang menghasilkan daya-beli lebih tinggi dalam kinerja pasar. Dari situ lahir normatif begini: pelaku yang mempunyai daya-beli lebih tinggi ditetapkan lebih bernilai dibanding pelaku yang berdaya-beli lebih rendah. Karena dalam ekonomi pasar berlaku “the highest bidder, the winner”, semakin tinggi daya-beli, semakin tinggi pula nilainya. Itulah mengapa, meskipun dalilnya setiap orang adalah “pengusaha swasta”, proyek neo-liberal memberikan perlakuan amat istimewa kepada perusahaan-perusahaan raksasa,[64] dan bukan usaha mikro atau kecil. Itu pula mengapa konflik ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan untuk bekerja’ berakhir dengan prioritas ‘kebebasan modal’ – investor ditetapkan lebih bernilai daripada buruh. Apa yang ditempuh proyek neo-liberal adalah “menyempitkan atau bahkan meremuk konsep kebebasan dengan menetapkannya sebagai kebebasan bisnis”.[65]

Dan karena proyek normatif neo-liberal berisi perentangan aplikasi prinsip pasar ke semua relasi kehidupan, pola itu juga berlaku apabila terjadi konflik, misalnya, antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan berkumpul’, ‘kebebasan pers’, ‘kebebasan ekspresi’, ‘kebebasan beragama’, dan seterusnya.[66] Tak ada liberalisme yang tidak mengemban kebebasan.[67] Tetapi dalam proyek neo-liberal, kesamaan yang diemban kebebasan itu terperangkap dalam persyaratannya sendiri, yaitu ‘daya-beli’. Bukan karena ada pasar, bukan juga karena ada uang atau daya-beli – uang, laba, pasar, dan daya-beli sudah ada sejak dahulu kala –, tapi karena proyek totalisasi prinsip pasar ke semua sudut kehidupan telah membawa konsekuensi bahwa akses pada kebebasan ditentukan oleh daya-beli. ‘Kesamaan’ dalam metafisika kebebasan telah menjelma ke dalam sejarah gejala, namun cara ia menjelma ditetapkan menurut ketidaksamaan.

Seperti yang terjadi dalam setiap proyek, neo-liberalisme juga penuh dengan korupsi, kontradiksi, penggelapan dan penyimpangan dari rancangannya sendiri. Proyek neoliberal mencanangkan kesamaan, tetapi segera membatalkannya dengan ketidaksamaan daya-beli. Proyek neo-liberal menetapkan semua orang sebagai “pengusaha swasta” yang bila jatuh harus menanggung risikonya sendiri, tetapi langsung mengharuskan kita semua memikul beban ketika para bankir besar dihajar krisis finansial, seperti yang jelas-jelas terjadi dalam skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).[68]

Tentu, terjadinya penyimpangan dan kontradiksi itu samasekali tidak berarti bahwa ‘kebebasan’ adalah cita-cita yang tak perlu dijelmakan. Kisah tentang ‘kebebasan’ adalah kisah menghidupi keluh-kesah sejarah. Apa yang ideal bukan lagi menjadi obyek buruan kebijaksanaan, melainkan gema yang memburu jerih-payah kehendak. Seperti setiap jerih-payah, ia berisi cacat dan kefanaan. Dan yang pasti hanya satu: beberapa jenis cacat dan kontradiksi lebih mampu kita tanggung daripada cacat dan kontradiksi lainnya.

Epilog

Sesungguhnya semua kekusutan itu bukan perkara baru. Dalam sungai sejarah, amat sering klaim atas penemuan kebebasan telah membawa kita ke dalam perangkap baru. Refleksi sederhana yang bersifat membongkar ini mungkin terdengar asing bagi mereka yang telah menghuni proyek neo-liberal. Itu gejala biasa, sebab orang tidak sadar akan ideologinya, sebagaimana orang tidak sadar akan bau mulutnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak sepakat terhadap proyek neo-liberal, alasannya bermacam. Beberapa segera mengenali betapa naif premis neo-liberalisme.[69] Untuk beberapa lain, arah kritik tertuju pada proyek neo-liberal yang meremuk watak sosial hidup-bersama.[70] Sedangkan untuk para aktivis, kritik terhadap proyek neo-liberal mungkin berupa ratapan betapa makin sulit melakukan aksi bersama. Dan untuk para budayawan?

Saya tidak fasih dengan lorong-lorong problematik kebudayaan. Akan tetapi, juga dalam kegagapan, saya menyaksikan gejala menggelisahkan yang dibawa proyek neoliberal bagi cuaca kultural kita. Ada suatu masa, dan itu belum lama, ketika refleksi budaya sibuk menafsir ‘penanda’ (signifier). Kekusutan yang muncul dari proyek neoliberalisme tentu juga berkat kinerja ‘penanda’. Cuma, pesan refleksi sederhana ini bukan terletak dalam urusan penanda, tetapi dalam kaitannya dengan keluh-kesah materialitas gejala yang pernah diabaikan oleh strukturalisme bahasa.[71] Dalam pusaran proyek neoliberalisme, refleksi kebudayaan yang bersikeras tetap sibuk dengan urusan otonom ‘penanda’ mungkin akan melahirkan fatamorgana. Ketika sampai pada pokok genting ini, saya ingat ironi besar yang diajukan Terry Eagleton, seorang pemikir kebudayaan:

“Kaum konservatif dan liberal melihat kebudayaan sebagai kebalikan kekuasaan. Kultur diperlakukan sebagai bilik yang masih tersisa, di mana kita mengira masih dapat bernafas tanpa polusi kekuasaan. Ketika satu-persatu aspek hidup berguguran ke dalam dalil utilitas [ekonomi], budaya mengingatkan kita ada hal-hal bernilai yang tidak dapat dikenai label harga. Talkala rasio instrumental dengan brutal meremuk hidup manusia, kultur merayakan apa yang ada untuk dirinya sendiri, tanpa perlu menaruh tujuan pasti selain keterpesonaan diri.... Masa itu telah berlalu”.[72]

Apa yang tersembunyi dalam peringatan itu juga harapan sederhana agar refleksi kebudayaan kembali bergelut dengan kaitan antara keluh-kesah pada dataran materialitas gejala dan cuaca kultural kita dewasa ini.[73] Refleksi kecil yang saya haturkan ini tidak lebih dari catatan kaki, dan itupun miskin dari rasa percaya diri.

Kebebasan adalah cita-cita agung yang merawat sifat keramatnya dengan menjadi elusif, atau selalu lolos dari genggaman. Untuk menjadi bagian hidup, ia tidak-bisa-tidak menjelma ke dalam materialitas gejala. Akan tetapi, bukankah lalu penjelmaan senantiasa melahirkan cacat? Benar! Semoga refleksi sederhana ini sedikit menyingkap betapa neoliberalisme terlalu kerdil untuk menjadi avatar kebebasan; atau kebebasan terlalu besar untuk neo-liberalisme. Namun dalam kefanaan itu, ada jenis cacat yang lebih tertanggung daripada cacat-cacat lain. Dan cacat kebebasan yang disebabkan oleh proyek neo-liberal, seperti juga yang muncul dari proyek fundamentalisme agama, bukanlah jenis cacat yang pantas kita tanggung.

Akhirnya, dalam kisah jerih-payah ini, apa yang bisa kita bagikan untuk merawat kemungkinan hidup-bersama dari kolonisasi proyek neo-liberal barangkali juga dapat menjadi jalan menyelamatkan sifat elusif kebebasan dari perangkapnya sendiri.***

Rujukan dan Catatan

[1] Lihat, misalnya, Treanor, ‘Neoliberalism....’, 2005, hlm 1.
[2] Streit, ‘The Freiburg School of....’, 1994, hlm 508-509. Nama lengkap jurnal itu adalah Ordo: Jahrbuch für die Ordnung von Wirtschaft und Gesellschaft.
[3] Contoh klasik masalah liberalisme abad ke-18 dan ke-19 ini mungkin paling jelas terungkap dalam gagasan Adam Smith berhadapan dengan Merkantilisme (lihat Smith, The Wealth of...., [1776] 2000).
[4] Bandingkan, misalnya, dengan Lemke, ‘The Birth of Bio-Politics….’, 2001, hlm 196.
[5] Istilah Vitalpolitik berasal dari Alexander Rüstow, salah seorang anggota awal Mazhab Freiburg (dikutip dalam Lemke, ’The Birth of Bio-Politics....’, 2001, hlm 196)
[6] Grossekettler, ‘On Designing....’, 1994, hlm. 21.
[7] Lihat, misalnya, Eucken, The Foundations of Economics...., 1940, hlm 61-86.
[8] Friedrich, ‘The Political Thought of....’, 1955, hlm 525.
[9] Röpke, The Social Crisis of...., 1950, Bagian 1 dan 3.
[10] Kedekatan kelompok Freiburg dan Chicago ini mungkin mengherankan, mengingat keduanya kemudian punya pemikiran ekonomi-politik yang berbeda, atau bahkan berseberangan. Namun apa yang dimaksud dengan ‘kelompok Chicago’ di sini adalah para ekonom Chicago sebelum usai PD II (Old Chicago School), seperti R. T. Ely dan John Commons, dan biasanya disebut ‘Mazhab Institusionalis’. Mereka mengembangkan gagasan yang cukup mirip dengan gagasan Ordo-Liberal. Kedekatan mereka diikat oleh gagasan ekonomi ‘Mazhab Historis’ Karl Knies, yang berfokus pada prasyarat institusional ekonomi. Tetapi, mengapa kedua kelompok (di Jerman dan di AS) punya kemiripan gagasan? Tulis Grossekettler:
“Since Knies, concern has been shown about institutional prerequisites of market economies in Germany as well as in America, whereas in England, France, and even in Austria these questions have hardly been noticed. This difference is due to the fact that, at the beginning of the nineteenth century, both Germany and the USA were developing countries. They did not have at their disposal the institutional prerequisities that were necessary for the development of bigger markets. This was true for both the material and institutional infrastructure. The conclusion.... was as follows: one cannot learn much from the economics of developed countries such as England, for example, concerning the solution of the essential problems developing countries like Germany and the USA were facing. [T]his... was handed down among the Historical School as well as among the American Institutionalists” (Grossekettler, ‘On Designing....’, 1994, hlm 12).
[11] Grossekettler, ‘On Designing....’, 1994, hlm 13-15 (untuk diagram genealogis tiga kelompok ini, lihat hlm 11).
[12] Grossekettler, ‘On Designing....’, 1994, hlm 14.
[13] Lihat, misalnya, Eucken, ‘A Policy for Establishing....’, [1952] 1982, hlm 115-131.
[14] Lihat Hayek, The Road to...., 1944.
[15] Bandingkan, misalnya, dengan Hausman & McPherson, ‘Economics, Rationality....’, 1994, hlm 265-266.
[16] Salah satu peristiwa penting yang kemudian menentukan transformasi gagasan libertarianisme ekonomi menjadi proyek neo-liberal dalam pengertian dewasa ini adalah Pertemuan Mont Pélérin. Di tahun 1947, Friedrich von Hayek, ekonom Mazhab Austria, mengorganisir pertemuan tertutup selama 10 hari di Mont Pélérin, sebuah kawasan liburan di pegunungan Swiss. Para peserta pertemuan adalah para pemikir dari Amerika Utara dan Eropa, seperti Hayek, Milton Friedman, George Stigler, Karl Popper, Ludwig von Mises, Salvador di Madariga, Walter Lippman. Pertemuan itu membawa kesepakatan pada pembentukan sebuah kelompok dengan nama The Mont Pélérin Society. Sesudah peristiwa di tahun 1947 itu, para anggotanya secara tetap mengadakan pertemuan rutin tiap dua tahun sekali. Proyek dan jaringan mereka meluas secara mencolok selama dasawarsa 1970-an dan 1980-an (Hartwell, The History of ...., 1995; juga Desai, ‘Second-Hand Dealers....’, 1994). Maka, tulis Susan George, “From a small, unpopular sect with virtually no influence, neo-liberalism has become the major world religion with its dogmatic doctrine, its priesthood, its law-giving institutions and perhaps most important of all, its hell for heathen and sinners who dare to contest the revealed truth” (George, ‘A Short History of....’, 1999, hlm 2).
[17] Tilman, Ideology and...., 2001.
[18] Lihat, misalnya, Harvey, A Brief History...., 2005, hlm 8, 19-20.
[19] Istilah ‘neo-liberal’ rupanya adalah istilah yang lebih dekat dengan sejarah pemikiran politik Eropa Barat (spektrum ‘konservatif’ – ‘liberal’ – ‘sosial progresif’) daripada dengan sejarah politik Amerika Serikat (spektrum ‘konservatif’ – ‘liberal’). Istilah ‘sosialis’ di Eropa lebih dekat dengan kategori ‘liberal’ di Amerika Serikat, dan istilah ‘liberal’ di Amerika Serikat lebih dekat dengan kategori ‘sosialis’ di Eropa daripada dengan istilah ‘liberal’ di Eropa. Perbedaan ini mungkin dapat menjelaskan salah-paham yang sering terjadi antara mereka yang memakai istilah ‘liberal’ dalam idiom politik Eropa Barat dan mereka yang memakai istilah ‘liberal’ dalam idiom politik Amerika Serikat (Lihat, misalnya, The Economist, ‘There’s a Word....’, 6 November 2004, hlm 14). Rupanya itu pula yang menyebabkan istilah ‘neoliberal’ dalam pengertian dewasa ini tidak terlalu dikenal di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, istilah ‘neo-liberal’ dalam pengertian dewasa ini lebih disebut dengan istilah ‘libertarian’.
[20] Untuk kajian mengenai Mazhab Ekonomi Chicago ini, lihat, misalnya, Tilman, Ideology and...., 2001; Samuels (ed), The Chicago School...., 1976; Wolfe, Whose Keepers?...., 1989, hlm 27-50.
[21] Pemikir ekonomi libertarian yang paling jelas mengajukan pokok ini adalah Gary Becker, salah seorang ekonom Mazhab Chicago. Ia kemudian menerapkan agenda epistemologis itu untuk menjelaskan banyak tindakan manusia, seperti hukum dan politik, keluarga dan perkawinan, kriminalitas dan perjodohan (Becker, The Economic Approach...., 1976; Becker, A Treatise on...., 1981.).
[22] Lihat, misalnya, Hayek, The Road to...., 1944; Friedman, Capitalism and...., 1962.
[23] Friedman, Capitalism and...., 1962, hlm 10.
[24] Bandingkan, misalnya, dengan Evensky, ‘Chicago Smith versus....’, 2005, hlm 197-203.
[25] Becker, The Economic Approach...., 1976, hlm 14 (cetak miring asli).
[26] Bandingkan, misalnya, dengan Munro, Following the Market...., 16 April 2004.
[27] Untuk kajian kritis yang lengkap mengenai pembentukan determinisme homo oeconomicus dalam ilmu ekonomi, lihat Hollis & Nell, Rational Economic...., 1975. Untuk kritik lebih ringkas, lihat Anderson, ‘Beyond Homo Economicus....’, 2000.
[28] Bandingkan, misalnya, dengan Clarke, ‘The Neoliberal Theory....’, 2005, hlm 50-59.
[29] Treanor, ‘Neoliberalism….’, 2005, hlm 5, 6.
[30] Adam Smith, model pemikir liberalisme ekonomi klasik, misalnya, menggagas bidang seperti pendidikan dan kesehatan sebagai tugas pemerintah, sebab aplikasi prinsip pasar dalam bidang-bidang infrastruktur publik itu justru counter productive:
“The sovereign has only three duties to attend to; three duties of great importance, indeed, but plain and intelligible to common understanding: first...; and, thirdly, the duty of erecting and maintaining certain public works and certain public institutions, which it can never be for the interest of any individual, or small number of individuals, to erect and maintain; because profit could never repay the expence to any individual or small number of individuals...” (Smith, TheWealth of...., [1776] 2000, hlm 745).
[31] Kendall, ‘From Liberalism to....’, 2003, hlm 9. Dalam bahasa Hirshleifer:
“There is only one social scence. What gives economics its imperialistic power is that our analytical categories – scarcity, cost, preferences, opportunities, etc – are truly universal in application. Even more important is our structured organization of these concepts into the distinct yet intertwined processes of optimization on the individual decision level. Thus economics does really constitute the universal grammar of social science” (Hirshleifer, ‘The Expanding Domain....’, 1985). Lihat juga Stigler, ‘Economics....’, 1984, hlm 312-313.
[32] Pokok-pokok ini dengan jelas dapat ditemukan dalam Becker, The Economic Approach...., 1976; lihat
juga Treanor, ‘Neoliberalism....’, 2005, hlm 11.
[33] Wachtel, The Money...., 1990, hlm 1-2. Lihat juga penggambaran yang mirip dalam Harvey, A Brief History of...., 2005, hlm 31-35.
[34] Kendall, ‘From Liberalism....’, 2003, hlm 10.
[35] Gordon, ‘Governmental Rationality....’, 1991, hlm 44. Pokok ini mungkin bukannya tidak terkait dengan gejala luas mengapa rak buku bagian psikologi di toko-toko buku penuh dengan buku-buku yang berisi self-help manuals, seperti ‘Bagaimana Menjadi Manajer Sukses’, ‘Tujuh Cara Memenangkan Pelanggan’ atau ‘Tangga Meraih Sukses’.
[36] Fine, Social Capital versus...., 2000.
[37] Lihat, misalnya, Hodgson, ‘Knowledge at Work....’, 2005; Niggle, ‘Globalization, Neoliberalism....’, 2003. Akan tetapi, karena model manusia sejati dalam neo-liberalisme adalah ‘pengusaha’ (dan mereka punya status istimewa), perlakuan istimewa juga diberikan kepada mereka. Salah satu contoh paling jelas adalah penyelamatan bisnis mereka ketika terjadi krisis finansial. Di Indonesia, gejala itu paling jelas terlihat dalam Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dalam refleksi David Harvey, privilese itu menunjukkan betapa neo-liberalisme adalah ideologi penguasaan baru yang penuh kontradiksi (Harvey, A Brief History of...., 2005, terutama Bab 6).
[38] Bandingkan, misalnya, dengan Treanor, ‘Neoliberalism....’, 2005, hlm 12.
[39] Kendall, ‘From Liberalism to....’, 2003, hlm 9.
[40] Treanor, ‘Neoliberalism:...’, 2005, hlm 9.
[41] Agak berbeda dengan pandangan umum, proyek neo-liberal tidak menuntut peran minimal ‘pemerintah’ (minimal state), tetapi kinerja pemerintah “should be designed as much as possible to replicate the working of markets, on supply and demand side”. Proyek neo-liberal “does not seek less ‘government’, but less politics”. Apa yang dimaksud ‘politik’ dalam kalimat itu menunjuk pada proses pengambilan keputusan bersama berdasarkan kesetaraan, bukan daya-beli (Munro, ‘Following the Market.....’, 2004, hlm 23). David Harvey melihat bahwa justru karena proyek neo-liberal menuntut perlindungan ketat hak istimewa para pemilik/pengontrol modal besar, maka bukan demokrasi yang akan muncul, tetapi persis sebaliknya, yaitu kediktatoran baru negara (Harvey, A Brief History of...., 2005, Bab 3).
[42] Gejala ini melibatkan perubahan arti banyak idiom kebijakan pemerintah. Munck, misalnya, menulis:
“The term ‘reform’ ceased to be associated with land distribution [like in ‘land reform’] or income distribution, to become synonymous in the neoliberal discourse with opening up of the economy and the freeing of market from political controls or regulation” (Munck, ‘Neoliberalism and Politics...., 2005, hlm 65).
[43] Bandingkan, misalnya, dengan Treanor, ‘Neoliberalism:...’, 2005, hlm 6-9.
[44] Harvey, A Brief History of…., 2005, hlm 33.
[45] Untuk studi yang sangat rinci mengenai gejala ini, lihat Martin, The Financialization of...., 2002.
[46] Lihat, misalnya, LiPuma & Lee, ‘Financial Derivatives...’, 2005. Tidak mudah mengartikan istilah-istilah teknis dunia finansial ini. Derivatives, misalnya, adalah surat aset yang diturunkan (derives) dari nilai aset lain. Hedge (lindung nilai) menunjuk pada strategi perlindungan nilai transaksi dari risiko penurunan harga (Lihat, misalnya, Bishop, Essential...., 2004, hlm 70-71, 122-124).
[47] Bandingkan, misalnya, dengan Leyshon et al., ‘Accounting for E-Commerce....’, 2005.
[48] Untuk kajian sangat rinci mengenai ketidakterkaitan antara ekonomi finansial dan ekonomi riil dalam skala global (dengan data kuantitatif sangat kaya), lihat Duménil & Lévy, Capital Resurgent...., 2004. 49 Treanor, ‘Neoliberalism....’, 2005, hlm 12.
[50] Gejala ini disebut ‘hermeneutika ganda’ (double hermeneutic):
“The concepts and theories produced in the natural sciences quite regularly filter into lay discourse and become appropriated as elements of everyday frames of references. But this is of no relevance, of course, to the world of nature itself; whereas the appropriation of technical concepts and theories invented by social scientists can turn them into constituting elements of that very ‘subject-matter’ they were coined to characterize, and by that token alter the context of their application. This relation of reciprocity between common sense and technical theory is a peculiar, but eminently interesting, feature of social investigation” (Giddens, New Rules of....[1976] 1993, hlm. 86).
[51] Untuk kajian ringkas mengenai homo oeconomicus sebagai proyek normatif Filsafat Moral, lihat Herry Priyono, ‘Homo Oeconomicus....’, 2006, hlm 87-132.
[52] Wolfson, ‘Eligo Ergo Sum.....’, 1994, hlm 304-308.
[53] Lihat, misalnya, George, The Lugano Report....’, 2003, hlm. 179-181.
[54] Bandingkan, misalnya, dengan:
“Defenders of the neo-liberal order affirm that it will eventually generate far more winners than losers... The claim is a lie.... If there is still such a thing as the class struggle – and I believe there must be because the survival stakes are so high – it will take place this time between the fast and the slow, the mobile and the stationary, the rooted and the migratory. Elite nomads are by definition better positioned to win it” (George, The Lugano Report...., 2003, hlm 180).
[55] Sudah sejak abad ke-18 ada gagasan bahwa perluasan prinsip ekonomi pasar-bebas akan menjinakkan fundamentalisme agama dan otoritarianisme politik (Untuk refleksi menarik tentang pokok ini, lihat Hirschman, The Passions and....., [1977] 1997).
[56] George, ‘A Short History of....’, 2000, hlm 6.
[57] Seperti disimpulkan ekonom dan etikus Daniel Finn, prinsip pasar akan memberikan kontribusi paling besar pada kesejahteraan umum justru bila tetap tinggal di ranah pengadaan barang/jasa ekonomi sendiri (“within its own game”), dan tidak ke luar mencaplok bidang seperti budaya, pendidikan, politik, dan sebagainya (Finn, The Moral Ecology of...., 2006, hlm. 146-152).
[58] Lihat, misalnya, Berlin, Four Essays...., 1969, hlm 122.
[59] Crocker, Positive Liberty...., 1980, hlm 38.
[60] Archer, Economic Democracy...., 1995, hlm 16.
[61] Bandingkan, misalnya, dengan Norman, Free and Equal...., 1987, hlm 37.
[62] Contoh survei menarik mengenai pokok ini, lihat, misalnya, Archer, Economic Democracy...., 1995.
[63] Harvey, A Brief History of...., 2005, hlm 182.
[64] Lihat, misalnya, Harvey, A Brief History of...., 2005, terutama Bab 3.
[65] Harvey, A Brief History of...., 2005, hlm 183.
[66] Bandingkan, misalnya, dengan Touraine, Beyond Neoliberalism...., 2001, hlm 12-17. 20
[67] Untuk survei menarik mengenai ‘liberalisme’ sebagai filsafat, lihat, misalnya, Schapiro, Liberalism...., 1958.
[68] Kontradiksi-kontradiksi proyek neo-liberal ini dengan sangat rinci ditunjukkan, misalnya, oleh Harvey, A Brief History of...., 2005.
[69] Lihat, misalnya, Harvey, A Brief History of...., 2005. Untuk contoh kritik menarik tentang epistemologi teori ekonomi yang kemudian mengalami radikalisasi dalam neo-liberalisme, lihat, misalnya, Hirschman, Rival Views of...., 1986, Bab 6; O’Boyle, ‘Homo Socio-Economicus...., 2005, hlm. 483-509.
[70] Lihat, misalnya, Bourdieu, ‘The Essence of....’, 1998; Bourdieu, Acts of Resistance...., 1998; Bourdieu, Firing Back...., 2003. Sudah lebih dari setengah abad lalu, Karl Polanyi, seorang pemikir ekonomi Hungaria, mengingatkan: “To allow the market mechanism to be the sole director of the fate of human beings and their natural environment indeed, even of the amount and use of purchasing power, would
result in the demolition of society” (Polanyi, The Great Transformation...., [1944] 2001, hlm 76).
[71] Apa yang dimaksud di sini adalah teori besar dan orisinal dari Ferdinand de Saussure, yang kemudian mengilhami berbagai pendekatan di luar ‘bahasa’ (Saussure, Course in....[1916] 1965).
[72] Eagleton, After Theory...., 2003, hlm 97, 100.
[73] Untuk refleksi mengenai risiko kecenderungan ciri ‘a-material’ gagasan ‘kebudayaan’ terhadap suasana kultural di Indonesia, lihat Supelli, ‘Di antara Dua Tegangan....’, 2 Juni 2006.

Kepustakaan

Anderson, Elizabeth (2000) ‘Beyond Homo Economicus: New Developments in Theories of Social Norms’, Philosophy & Public Affairs, 29/2, hlm 170-200.
Archer, Robin (1995) Economic Democracy, Oxford: Clarendon Press.
Becker, Gary S. (1976) The Economic Approach to Human Behavior, Chicago: The University of Chicago Press.
Becker, Gary S. (1981) A Treatise on the Family, Cambridge, MA: Harvard University Press.
Berlin, Isaiah (1969) Four Essays on Liberty, Oxford: Oxford University Press.
Bishop, Matthew (2004) Essential Economics, London: The Economist & Profile Books.
Bourdieu, Pierre (1998) ‘The Essence of Neoliberalism’, Le Monde diplomatique, December.
Bourdieu, Pierre (1998) Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market 1, New York: The New Press.
Bourdieu, Pierre (2003) Firing Back: Against the Tyranny of the Market 2, New York: The New Press.
Clarke, Simon (2005) ‘The Neoliberal Theory of Society’ dalam A. Saad-Filho & D. Johnston (eds), Neoliberalism: A Critical Reader, London: Pluto, hlm 50-59.
Crocker, Lawrence (1980) Positive Liberty, The Hague: Martinus Nijhoff.
Desai, Radhika (1994) ‘Second-Hand Dealers in Ideas: Think-Tanks and Thacherite Hegemony’, New Left Review, 203, January/February.
Duménil, Gérard & Lévy, Dominique (2004) Capital Resurgent: Roots of the Neoliberal Revolution, Cambridge, MA: Harvard University Press.
Eagleton, Terry (2003) After Theory, London: Allen Lane & Penguin.
[The] Economist (6 November 2004) ‘There’s a Word for That’, hlm. 14.
Eucken, Walter (1940) The Foundations of Economics: History and Theory in the Analysis of Economic Reality, terjm. T. W. Hutchison, Berlin: Springer.
Eucken, Walter ([1952] 1982) ‘A Policy for Establishing a System of Free Enterprise’ dalam Ludwig Erhard Stiftung, Standard Texts on the Social Market Economy, Stuttgart/New York: Fischer, hlm 115-131.
Evensky, Jerry (2005) ‘Chicago Smith versus Kirkaldy Smith, History of Political Economy, 37/2, hlm 197-203. 21
Fine, Ben (2000) Social Capital versus Social Theory, London: Routledge.
Finn, Daniel K. (2006) The Moral Ecology of Markets: Assessing Claims about Markets and Justice, Cambridge: Cambridge University Press.
Friedman, Milton (1962) Capitalism and Freedom, Chicago: The University of Chicago Press.
Friedrich, Carl J. (1955) The Political Thought of Neoliberalism, American Political Science Review, 49/2, hlm 509-525.
George, Susan ([1999] 2003) The Lugano Report: On Preserving Capitalism in the Twenty-First Century, London: Pluto Press.
George, Susan (1999) A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities for Structural Change, paper presented to the Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Bangkok, 24-26 March.
Giddens, Anthony ([1976] 1993) New Rules of Sociological Method, Cambridge: Polity Press, 2nd edition.
Gordon, Colin (1991) Governmental Rationality: An Introduction, dalam G. Burchell et al. (eds), The Foucault Effect: Studies in Governmentality, Hemel Hampstead: Harvester Wheatsheaf.
Grossekettler, Heinz G. (1994) On Designing an Institutional Infrastructure for Economies: The Freiburg Legacy after 50 Years, Journal of Economic Studies, 21/4, hlm 9-24.
Hartwell, R. M. (1995) The History of the Mont Pélérin Society, London: Liberty Fund.
Harvey, David (2005) A Brief History of Neoliberalism, Oxford: Oxford University Press.
Hausman, Daniel M. & McPherson, Michael S. (1994) Economics, Rationality, and Ethics, dalam D. Hausman (ed), The Philosophy of Economics: An Anthology, Cambridge: Cambridge University Press, 2nd edition, hlm 252-277.
Hayek, Friedrich A. (1944) The Road to Serfdom, Chicago: The University of Chicago Press.
Herry-Priyono, B. (2006) Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan dalam I.
Wibowo & B. Herry-Priyono (eds), Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius, hlm 87-132.
Hirschman, Albert O. (1986) Rival Views of Market Society and Other Recent Essays, New York: Viking.
Hirschman, Albert O. ([1977] 1997) The Passions and the Interests, New Jersey: Princeton University Press,
Hirshleifer, Jack (1985) The Expanding Domain of Economics, American Economic Review, 75/6, December.
Hodgson, Geoffrey M. (2005) Knowledge at Work: Some Neoliberal Anachronisms, Review of Social Economy, 63/4, December, hlm 547-566.
Hollis, Martin & Nell, Edward J. (1975) Rational Economic Man: A Philosophical Critique of Neo-Classical Economics, Cambridge: Cambridge University Press.
Kendall, Gavin (2003) From Liberalism to Neoliberalism, paper presented to the Social Change in the 21st Century Conference, Queensland University of Technology, 21 November.
Lemke, Thomas (2001) The Birth of Bio-Politics, Economy and Society, 30/2, May, hlm 190-207.
Leyshon, Andrew et al. (2005) Accounting for E-Commerce: Abstractions, Virtualism, and the Cultural Circuit of Capital, Economy and Society, 34/3, August, hlm 428-450.
LiPuma, Edward & Lee, Benjamin (2005) Financial Derivatives and the Rise of Circulation, Economy and Society, 34/3, August, hlm 404-427.
Martin, Randy (2002) The Financialization of Daily Life, Philadephia: Temple University Press.
Munck, Ronaldo (2005) Neoliberalism and Politics, and the Politics of Neoliberalism dalam A. Saad-Filho & D. Johnston (eds), Neoliberalism: A Critical Reader, London: Pluto, hlm 60-69. 22
Munro, André (2004) Following the Market: Rational Choice Theory and Neo-Liberal Governmentality, paper presented to the ’20 Years after Foucault’ Conference, New School University, New York, 16 April.
Niggle, Christopher J. (2003) Globalization, Neoliberalism and the Attack on Social Security, Review of Social Economy, 61/1, March, hlm 51-73.
Norman, Richard (1987) Free and Equal: A Philosophical Examination of Political Values, Oxford: Oxford University Press.
O’Boyle, Edward J. (2005) Homo Socio-Economicus: Foundational to Social Economics and the Social Economy, Review of Social Economy, 63/3, September, hlm 483-509.
Polanyi, Karl ([1944] 2001) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time, Boston: Beacon Press.
Röpke, Wilhelm (1950) The Social Crisis of Our Time, London: Transaction Publisher.
Saad-Filho, Alfredo & Johnston, Deborah (eds) (2005) Neoliberalism: A Critical Reader, London: Pluto.
Samuels, Warren J. (ed) (1976) The Chicago School of Political Economy, East Lansing: Association for Evolutionary Economics and Graduate School of Business Administration.
Saussure, Ferdinand de ([1916] 1965) Course in General Linguistics, London: McGraw-Hill.
Schapiro, Salwyn J. (1958) Liberalism: Its Meaning and History, Princeton: Van Nostrad.
Smith, Adam ([1776] 2000) The Wealth of Nations (judul panjang: An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, ed. E. Cannan, New York: The Modern Library.
Stigler, George J. (1984) Economics – The Imperial Science?, Scandinavian Journal of Economics, 86/3, 301-313.
Streit, M. E. (1994), The Freiburg School of Law and Economics dalam Peter J. Boettke (ed.), The Elgar Companion to Austrian Economics, London: Edward Elgar, hlm 508-515.
Supelli, Karlina (2006) Di antara Dua Tegangan: Menilik Kebudayaan sebagai Perayaan Gaya Hidup, makalah dalam Panel “Meletakkan Posisi Kebudayaan dalam Proses Menjadi Indonesia”, Lingkar Budaya Indonesia & Harian KOMPAS, Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, 2 Juni.
Tilman, Rick (2001), Ideology and Utopia in the Social Philosophy of the Libertarian Economists, Greenwood Press.
Touraine, Alain (2001) Beyond Neoliberalism, Cambridge: Polity.
Treanor, Paul (2005) Neoliberalism: Origins, Theory, Definition, 2 December, http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neo-liberalism.html
Wachtel, Howard M. (1990) The Money Mandarins, New York: M. E. Sharpe.
Wolfe, Alan (1989) Whose Keeper? Social Science and Moral Obligation, Berkeley: University of California Press.
Wolfson, Murray (1994) Eligo Ergo Sum: Classical Philosophies of the Self in Neoclassical Economics, History of Political Economy, 26/2, hlm 297-325.

Selasa, 30 Maret 2010

Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Tulisan ini tentang pemikiran Jürgen Habermas. Ditulis oleh F. Budi Hardiman, nama yang mungkin sudah tidak asing buat para peminat studi pemikiran di Indonesia, khususnya peminat pemikiran Jürgen Habermas.

Selain pada isinya, letak keutamaan tulisan ini mungkin pada bahasanya yang mudah di mengerti.

Tulisan ini diperoleh dari blog milik Saiful Arif, http://www.saifularif.com/blog/home/pikiran/ide/74-demokrasi-deliberatif-teori-prinsip-dan-praktik-.html.

Aslinya, tulisan ini adalah sebuah makalah. Ia dibawakan pada "Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi Pelaksanaan Deliberative Forum "Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah"" di Yogyakarta pada 24 Agustus 2005.

Ditampilkan di sini setelah pengeditan pada letak paragraf dan kesalahan pengetikan, juga dengan menyatukankannya sebagai satu kesatuan. Di sumbernya, tulisan ini terpecah sebagai tiga bagian tulisan.

___________


Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik
F. Budi Hardiman

TULISAN
ini hendak membahas sebuah konsep yang sekarang menjadi mode, yaitu demokrasi deliberatif. Istilah ini tampak baru, namun bila direnungkan isinya, masyarakat kita telah memilikinya. Deliberatif yang berasal dari kata deliberation, atau deliberatio dalam Bahasa Latin, adalah musyawarah, omong-omong, berunding, memberikan nasihat satu sama yang lain, berbincang-bincang, dan menimbang-nimbang.

Sebagai ilustrasi, kalau kita berpikir apakah mau menikah atau tidak, itu berarti kita sedang melakukan deliberation. Itu adalah forum internal kita dalam kepala. Tetapi kalau kita mulai omong dengan orang lain, misalnya dengan pasangan kita, apakah jadi menikah atau tidak, itu adalah forum eksternal. Itu pun merupakan bentuk deliberasi. Jadi, akar dari deliberasi sebenarnya adalah perbincangan dan komunikasi.

Oleh karena itu, demokrasi deliberatif tidak asing bagi masyarakat kita yang suka berbicara dan bermusyawarah. Kalau memang sudah biasa, mengapa demokrasi deliberatif itu harus dipelajari? Memang itu adalah hal biasa, tetapi ada yang tidak biasa dalam demokrasi deliberatif, yaitu bentuk komunikasi macam apa yang dituntut secara perfeksionis dari teori demokrasi deliberatif sehingga para aktivis yang bergerak untuk membangun forum warga misalnya juga bisa melihat bahwa proses komunikasi ada prosedurnya, pola, tatanan, dan pencapaian yang harus bisa diikuti prosesnya.

Dengan kata lain, apa yang mau disajikan dalam teori demokrasi deliberatif adalah suatu pandangan bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Mengingat sistem politik menggunakan bahasa yang berbeda dari masyarakat sipil, maka level-level komunikasi ini harus dipahami. Apa yang menurut masyarakat sipil itu merupakan aspirasi kalau tidak dikemas dengan bahasa sistem, maka ia tidak bisa dimengerti oleh sistem politik.

Teori demokrasi deliberatif sedikit banyak menjelaskan level-level bagaimana proses pembentukan opini, karier opini "dari mana opini dan menuju ke mana" penyaringan komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, saya hendak membagi uraian ini pada tiga hal, yaitu teori, prinsip, dan praktik.

Seputar Teori Demokrasi Deliberatif

Adalah Jurgen Habermas, seorang pemikir yang pada 60-an dekat dengan gerakan Marxis Kiri dan banyak menginspirasi gerakan mahasiswa tahun 1968. Pengaruhnya juga cukup besar di Amerika. Gagasan Habermas baru masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an, dan ini juga mewarnai gerakan-gerakan sosial di tanah air.

Habermas, dengan runtuhnya komunisme, mengubah cara berpikirnya. Dia tidak lagi membuat kritik terhadap kapitalisme, melainkan membuat buku-buku yang isinya menganalisa proses demokrasi dalam era pasca komunisme. Teori demokrasi deliberatif adalah salah satunya, dan Jurgen Habermas salah satu tokohnya. Ada tokoh-tokoh lain, seperti Cohen dan John Rawls yang juga diacu sebagai orang-orang yang menyumbangkan pemikiran mengenai proses deliberasi. Di tangan Habermas, teori demokrasi deliberatif menjadi cukup matang. Buku “Filsafat dalam Masa Teror” yang berisi wawancara dengan Habermas, menunjukkan bahwa di tahun 2000-an, Habermas masih konsisten berbicara mengenai proses deliberasi.

Habermas termasyhur dengan apa yang disebut dengan teori diskursus. Sederhananya, diskursus adalah perbincangan, wacana. Kata diskursus berbeda dengan speech atau saying. Discourse adalah suatu bentuk komunikasi yang tidak sehari-hari. Dalam komunikasi sehari-hari, di pasar misalnya, kita membeli cabe dan kita membayarnya, itu bukan diskursus. Tetapi, begitu kita bertanya mengapa harganya sekian dan kemarin sekian, terjadilah apa yang disebut diskursus. Ketika ada problem dan tematisasi problem, terjadilah diskursus dalam bentuk yang sederhana. Jadi, diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif yang mentematisasi sebuah problem tertentu. Dengan demikian, ada dua bentuk komunikasi, yaitu komunikasi sehari-hari dan diskursus.

Dalam setiap komunikasi, ada beberapa hal yang berperan. Lebenswelt di antaranya. Lebenswelt (Jerman), lifeworld (Inggris), atau dunia kehidupan adalah latar belakang komunikasi yang diandaikan begitu saja dan sifatnya pra-reflektif, bahkan pra-sadar, tapi nyata-nyata menuntun komunikasi kita membuat tendisensi. Tendensi itu tidak selalu buruk, tapi memungkinkan kita berkomunikasi. Tanpa lebenswelt, tidak akan ada komunikasi yang berarti.

Ada sebuah ilustrasi menyangkut lebenswelt. Suatu ketika saya menyampaikan ceramah di sebuah forum. Oleh moderator, saya diminta berhenti karena ada suara adzan. Saya bertanya, "Mengapa harus berhenti? Saya disadarkan bahwa dalam Islam, ketika dikumandangkan adzan, ada keharusan untuk berhenti sejenak hingga adzan itu usai. Bagi saya yang tidak paham, tentu saya bertanya-tanya. Ini salah satu contoh bahwa ritual pun adalah lebenswelt. Begitu saya mempertanyakan kenapa harus berhenti, terjadilah apa yang disebut diskursus. Diskursus itu membuat problem menjadi semakin jelas dan semakin rasional. Akibat diskursus, lebenswelt itu dibedah pelan-pelan, mulai ditematisasi, sehingga makin jelas. Sehingga para peserta komunikasi semakin sadar tentang kebudayaannya dan masyarakatnya secara reflektif.

Ketika kita membuat diskursus, bukan hanya lebenswelt yang berperan, tapi juga apa yang disebut klaim-klaim kesahihan. Contohnya, ketika kita berbincang-bincang tentang adzan misalnya, dan saya mempersoalkan, kenapa saya harus berhenti berbicara, bukankah ini hanya berlaku untuk pemeluk agama tertentu? Ketika bertanya begitu, dalam pernyataan saya implisit sebuah klaim kebenaran tertentu. Artinya, di balik kata-kata itu, saya sebenarnya sedang meneguhkan klaim kebenaran bahwa tidaklah bermasalah bila orang yang bukan pemeluk Islam berbicara terus meskipun adzan sedang berkumandang. Klaim kesahihan ini diam-diam ada ketika saya menyoal kenapa saya harus berhenti ketika adzan. Klaim semacam itu banyak dijumpai dalam komunikasi. Jika kita memperhatikan dan semakin sadar tentang klaim itu, maka akan terjadi diskurus yang membuat komunikasi semakin cerdas. Diskursus selalu bergerak dalam masyarakat, dan setiap upaya tematisasi akan selalu keluar dari lebenswelt: komunikasi sehari-hari yang taken for granted.

Dalam komunikasi sehari-hari, ada beragam tipe diskursus: diskursus teoretis, diskursus praktis, dan diskursus kritis. Diskursus teoretis adalah percakapan argumentatif menyangkut persoalan-persoalan yang faktual. Misalnya, harga cabe 20 ribu/kg. Si pembeli membatah, bahwa harga cabe masih 19 ribu/kg berdasarkan laporan media dan informasi lainnya. Jadi, ada upaya untuk mengecek fakta. Inilah yang disebut diskursus teoretis. Di sini ada klaim kesahihan menyangkut kesahihan harga cabe. Jadi, diskursus ini mengacu pada fakta yang kita temukan, entah dari laporan pedagang yang lain atau sumber-sumber berita resmi dari media, dll.

Berbeda dengan diskursus teoretis, diskursus praktis terjadi kalau yang menjadi problem itu adalah norma. Misalnya, apakah orang yang berbicara terus selama adzan dikumandangkan itu melanggar sopan-santun atau tidak. Kalau berbicara terus, kita tidak tahu bagaimana perasaan publik kita. Singkatnya, dalam diskursus praktis, tema yang menjadi problem adalah norma.

Terakhir, kritik. Kalau dalam diskursus itu harus ada konsensus, dalam kritik tidak perlu. Kritikus itu memberikan tilikan. Ada dua macam kritik, yaitu kritik estetis dan kritik terapoitis. Ketika ada kritikus sastra atau kritikus seni melihat karya seni apakah karya seni itu indah atau tidak, lalu terjadi diskusi, maka itu bisa disebut sebagai diskursus kritik estetis. Sementara kritik terapoitis adalah bentuk pembicaraan yang mengkritik. Misalnya, marxisme mengkritisi pencemaran lingkungan, bahwa pencemaran lingkungan itu dibiarkan begitu saja karena ada kolaborasi politis antara pemerintah dan pengusaha. Ini disebut kritik terapoitis. Disebut “terapoitis” asal katanya “terapi” karena berupaya untuk menyembuhkan masyarakat dari penindasan. Banyak contoh lain yang misalnya dilakukan oleh para analis kritik sosial.

Dari empat macam bentuk komunikasi di atas, terkadang dalam komunikasi orang memproblematisir semuanya secara komprehensif. Ini juga disebut diskursus, diskursus tentang komprehensivilitas.

Mari kita mengamati apa yang terjadi pada masyarakat. Kalau kita melihat negara modern, Indonesia misalnya, dan menganalisanya sebagai keseluruhan, setidaknya ada tiga komponen di dalamnya: negara/birokrasi (kekuasaan), pasar (uang), dan masyarakat (solidaritas).

Ada dua unsur dalam bagan ini. Unsur atas adalah negara dan pasar. Ini yang disebut sistem; dan unsur bawah yaitu masyarakat. Ini yang disebut lebenswelt. Pembedaan itu bukan semata-mata terjadi karena pembedaan analisa, tetapi juga pembedaan bentuk komunikasi. Misalnya, kalau kita bertemu dengan seseorang dan bertegur sapa, “Apa kabar, main-main ke rumahku, wah, saya mau hutang uang dan mau dibayar minggu depan,” itu adalah bentuk komunikasi sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi, mungkin Anda jengkel karena hutangnya tidak dibayar setelah ditagih berkali-kali. Lalu Anda mengundang pengacara untuk memperkarakannya di pengadilan. Komunikasi ini tidak lagi berada pada level sehari-hari, melainkan masuk dalam sistem. Singkatnya, orang yang sama bisa mewakili bentuk komunikasi yang berbeda.

Habermas melihat bahwa perkembangan masyarakat menurut pola gambar di atas. Ketika masyarakat masih sederhana, masyarakat tradisional misalnya, sistem itu kecil. Sebagai ilustrasi, di desa, birokrasi sangat lemah, interaksi lebih berbentuk interaksi kultural. Artinya sistem “birokrasi dan pasar”dalam masyarakat tradisional masih kecil, pengaruhnya sangat terbatas. Seolah-olah menjadi subsistem dari lebenswelt. Sementara lebenswelt besar.

Masyarakat pun berkembang. Melalui proses modernisasi, terjadi perubahan. Sistem mulai membesar, sementara lebenswelt terdesak, mengecil. Lalu belalai-belalai kapitalisme mulai masuk dan mengatur komunikasi. Di satu sisi, komunikasi bisa reflektif, proble-matis, di mana orang bisa semakin pandai bicara dan semakin bisa memproblematisasikan. Di pihak yang lain, karena lebenswelt semakin kecil, maka komunikasi tidak lagi taken for granted, kurang santai, bahkan tegang dan sarat konflik.

Menurut Habermas, dalam kapitalisme, yang terjadi dewasa ini adalah membesarnya sistem dan lebenswelt mengecil. Birokrasi mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, sementara kebudayaan semakin terdesak. Sebagai ilustrasi, kalau kita hendak meng-adakan seminar untuk menyukseskan pemilu, mobilisasi dana demikian mudah. Berbeda ketika kita hendak mengadakan seminar kebudayaan, mencari dana demikian sulitnya. Ini artinya, dalam konteks kapitalisme, menggunakan bahasa sistem lebih mudah dipahami ketimbang bahasa lebenswelt.

Menyaksikan perkembangan yang sedemikan rupa, apakah ini suatu malapetaka bagi eksistensi masyarakat? Habermas menyatakan bahwa saat ini, masyarakat modern yang majemuk itu masih berttahan dan tidak bubar. Kenapa? Padahal sistem besar sekali, sementara yang membuat integritas sosial adalah lebenswelt. Sistem bisa mencabik-cabik lebenswelt. Tapi mengapa masyarakat modern yang sistemnya besar dan kuat itu masih bertahan.

Menurut Habermas, itu terjadi berkat hukum. Dalam konteks ini, apa keistimewaan hukum? Hukum memiliki wajah ganda. Di satu pihak, wajah hukum bersifat instrumental strategis. Artinya, bahasa hukum bisa dipakai sebagai alat. Di lain pihak, wajah hukum bersifat komunikatif. Ini terjadi karena sebenarnya produk hukum itu harus disetujui, legitimed, dan sahih. Karena harus disetujui, sahih, dan legitimed, maka hukum harus dikomunikasikan sehingga terjadi konsensus.

Dengan demikian, hukum memiliki wajah ganda. Kalau Anda tidak puas dengan permainan hukum, Anda bisa menuntut dan mempersoalkan hukum dengan hukum itu sendiri. Artinya, hukum bukan kata akhir. Hukum adalah produk komunikasi. Kata akhir adalah komunikasi, tapi komunikasi tidak pernah berakhir. Hukum tidak pernah menjadi kata akhir, karena masih bisa dipersoalkan dalam komunikasi.

Lalu bagaimana proses menyepakati produk hukum? Ini sebenarnya inti dari deliberasi. Setiap proses komunikasi, termasuk juga menyepakati produk semisal hukum UU Sisdiknas, UU tentang Air, dll, apa yang disebut asas atau prinsip-prinsip teori diskursus itu berlaku dalam proses demokrasi. Ketika kita mau mencapai sebuah produk UU tertentu, ada prinsip yang berbunyi: keputusan/kesepakatan/produk hukum yang sahih atau mengkalaim kesahihan itu hanyalah produk hukum yang disepakati secara universal oleh setiap subyek atau orang yang terkena oleh produk hukum itu. Misalnya, ketika Pemda DKI hendak mengundangkan daerah bebas becak, maka sebelum UU itu diputuskan, ada prinsip yang tidak bisa ditolak: mengikutsertakan pihak-pihak yang terkena peraturan itu. Mereka adalah tukang becak, pemilik becak, masyarakat pengguna becak, pengguna jalan, masyarakat yang peduli becak, dan semua yang terkena aturan itu harus diandaikan menerima peraturan itu secara universal. Kalau ada satu dari mereka tidak sepakat, maka hukum itu tidak sahih.

Tentu saja ini ideal, karena prinsip memang harus ideal. Dalam kenyataan, hal ini tidak pernah dicapai. Tetapi, kalau tidak ada prinsip, maka kita permisif dengan produk undang-undang. Jika kita terlalu permisif, maka produk UU hanya menjadi kompromi politik. Tetapi kalau kita menggunakan prinsip itu, kita bisa mempersoalkan, bahkan mempersoalkan kompromi dan kepentingan menjadi sesuatu yang ideal, apakah benar UU itu mencerminkan aspirasi publik.

Dengan prinsip tadi, hukum dalam masyarakat majemuk menjadi engsel (medium) antara sistem dan lebenswelt, yaitu antara birokrasi dan ekonomi kapitalis dengan masyarakat. Jadi, hukum ini yang menjembatani sehingga kedua-duanya bisa berkomunikasi.

Ada sebuah pertanyaan yang perlu dicamkan; yakinkah kalau Anda mengajak masyarakat untuk berkomunikasi, Anda sedang menjadi generator kekuasaan tertentu atau meminjam istilah Hannah Arendt sedang mereproduksi kekuasaan? Menurut Arendt, kekuasaan tidak terletak pada kemampuan orang untuk memaksa orang lain. Karena itu bukanlah kekuasaan, melainkan paksaan, dan paksaan adalah kekerasan. Misalnya, Anda meminta menandatangani dokumen tertentu sambil Anda menginjak kaki atau menyerahkan uang. Ini bukan kekuasaan, melainkan manipulasi (menyogok) dan represi (menginjak kaki sebagai wujud ancaman).

Berbeda jika kita hendak menyepakati suatu persoalan. Kita membincang dan mendiskusikan, dan lalu terjadi persetujuan, dan persetujuan itu terjadi atas dasar komunikasi bebas. Dengan persetujuan itu, orang lain juga menyetujui dan akhirnya ada gerakan. Jadi, kekuasaan itu ada ketika orang berbicara dan bertindak bersama tanpa paksaan, solider, untuk melaksanakan aksi bersama. Kekuasaan seperti ini disebut kekuasaan komunikatif. Kekuasaan komunikatif inilah yang seharusnya ditumbuhkan dalam forum-forum deliberatif.

Habermas melihat bahwa dalam masyarakat modern, tugas kita adalah memperbesar lebenswelt dengan membangun kekuasaan komunikatif (communicative power), dengan menciptakan forum inisiatif warga. Yang ingin saya tegaskan adalah bahwa kekuasaan komunikatif ini ada ketika ada kekuasaan jaringan, jaringan komunikasi yang tumbuh, baik dalam bidang sosial, budaya, dll.

Prinsip-Prinsip Demokrasi Deliberatif

Saya berpikir bahwa era demagog telah berakhir dan seharusnya berakhir. Adalah bukan zamannya Anda berperan sebagai penggerak massa. Anda adalah disseminator atau penebar partisipasi publik. Dalam konteks ini, saya hendak membedakan dua kategori tindakan kolektif: massa dan gerakan civil society. Sebagai massa, Si A dan Si B itu sama: sama-sama mendapat duit, sama-sama ditunggangi, dan sama-sama tidak sadar apa yang terjadi di antara mereka. Tetapi, sebagai civil soceity, Si A dan Si B adalah warga negara, mereka adalah individu. Dalam proses deliberasi, individualitas sangat ditekankan.

Dalam kondisi budaya bisu (silence culture), deliberasi tidak terjadi. Karena dalam porses deliberasi harus ada apa yang disebut kompetensi komunikatif. Setiap individu dalam masyarakat mempunyai kompetensi komunikatif. Tetapi setiap kebudayaan tertentu bisa mematahkan proses komunikasi dengan membuat orang tidak berdaya dalam kompetensi komunikatif. Orang dibiarkan pasif. Tugas dari forum deliberasi adalah membangun kompetensi komunikatif. Caranya, membiarkan mereka menghargai pendapat sendiri, memberikan ruang perbedaan pendapat sehingga mereka menyadari bahwa perbedaan pendapat itu menguntungkan. Karena, dari perbedaan pendapat itu ada cukup banyak perspektif yang dibuka. Dan yang lebih penting untuk silence culture, berbeda pendapat itu tidak menakutkan, tetapi memperkaya.

Sekarang, kita menghadapi proses yang menakutkan, dalam arti bahwa berbeda pendapat sering kali menakutkan karena disertai dengan ancaman. Itu bukan komunikasi. Untuk meredam kekerasan dalam komunikasi, maka kematangan sangat penting perannya. Fasilitator harus terdiri dari orang yang sangat matang, yang mampu membuka wawasan dan cukup partisipatif, stimulatif, dan tidak memaksakan kehendak. Sehingga subyek yang paling lemah dalam forum deliberatif itu mampu mengemukakan suaranya, karena suara yang paling bodoh sekalipun adalah suara yang memiliki hak dalam deliberasi.

Implikasinya, diperlukan proses yang sangat panjang. Ketika Indonesia berubah menjadi demokrasi, orang Eropa mengatakan kepada saya, Indonesia adalah negara kepulauan, dan paling cocok dipimpin secara diktator. Kalau ia mau berubah menjadi demokrasi, dibutuhkan waktu paling lambat 10 tahun.

Bagi saya, mereka berhak mengatakan demikian. Tapi sebenarnya mereka tidak melihat ke dalam Indonesia. Kalau melihat ke dalam, sebetulnya masyarakat kita punya potensi deliberatif yang tinggi yang dalam masyarakat tradisional ada pada apa yang disebut gotong-royong dan musyawarah. Dengan musyawarah yang bebas, non-diskriminatif, non-manipulatif, sebenarnya kita telah memiliki ruang-ruang dalam masyarakat kita untuk deliberasi. Jadi tugas kita menghidupkan dan menvitalisasi potensi itu menjadi suatu gerakan.

Tipologi Diskursus Politik

Diskursus politik adalah derivasi dari diskursus praktis. Dalam konteks ini, Habermas menspesifikasi kembali diskursus praktis. Menurut Habermas, setidaknya ada tiga diskursus dalam politik, dalam arti bahwa diskursus itu terjadi dalam forum warga, media massa, parlemen, eksekutif, dan dalam komunikasi politik pada umumnya. Ketiga diskursus praktis itu adalah diskursus pragmatis, diskurus etis-politis, dan diskursus moral.

Diskursus pragmatis dapat diilustrasikan dengan, misalnya, kalau pemerintah berbicara mengenai kenaikan harga BBM dan yang diproblematisir adalah kelangkaan sumber-sumber minyak yang itu terkait dengan sumber ekonomi, APBN, dll. Diskursus semacam ini mempersoalkan teknis, untuk itu diperlukan pengetahuan expert. Dalam konteks ini, seorang pastur atau ulama walaupun dipuja oleh umatnya tidak berwenang masuk dalam diskusi itu. Karena dia bukan akuntan, bukan ahli manajemen, dan bukan ahli perminyakan. Alih-alih menyelesaikan persoalan, yang terjadi malah merunyamkan persoalan. Diskursus pragmatis ini diskursus para ahli untuk menyelesaikan kasus itu (katakanlah kenaikan harga BBM) dari segi pengetahuan ekonomis, teknologis, dan semacamnya.

Dalam diskursus ini sudah ada suatu value yang tidak diproblematisir. Yaitu bahwa (katakanlah) value-nya adalah kepentingan publik. Publik yang dimaksud adalah pemakai kendaraan bermotor. Ketika mulai mempersoalkan masalah value, maka diskursus pragmatis sampai pada kesimpulan bahwa dari segi teknis mustahil untuk mempertahankan harga BBM, karena akibatnya negara bisa bangkrut. Tetapi berbeda kalau yang dipersoalkan menyangkut persepsi masyarakat dalam arti bahwa kalau harga BBM dinaikkan, apakah itu bisa diterima oleh masyarakat, apakah tidak menyu-sahkan masyarakat, bagaimana implikasinya pada pendidikan, kebudayaan, seni, dan politik pada umumnya. Jadi, kalau sudah masuk pada value, rel diskursus beralih menjadi diskursus etis-politis. Dalam diskursus etis-politis, aktornya sudah meluas tidak saja expert, tetapi juga warga negara secara keseluruhan.

Karena diskursus etis politis bisa terjadi dalam perspektif sektarian tertentu dalam arti bisa terjadi dari nilai kebudayaan dan etnis tertentu, maka diskursus etis politis paling banter menghasilkan diskursus yang disepakati oleh kelompok kultural atau kelompok sosial tertentu. Misalnya, diskursus tentang pelarangan Ahmadiyah melalui fatwa MUI. Pelarangan ini bagi kalangan muslim merupakan persoalan internal. Tetapi kalau kita lihat klaim-klaim yang ada di sana, itu menyangkut etis-politis. Yaitu menyangkut apakah klaim-klaim itu bisa disepakati secara universal, tetapi hasilnya adalah suatu konsensus partikular karena ada kelompok yang tidak setuju dengan fatwa itu. Jika demikian, kualitas diskursif yang ada dalam konteks pelarangan Ahmadiyah adalah etis politik. Apa yang bisa disepakati oleh kelompok yang pro pelarangan tidak bisa disepakati oleh orang yang anti pelarangan misalnya. Ia menjadi kesepakatan partikular yang terbatas pada horison kelompok tertentu. Nah, tujuan dalam deliberasi adalah, diskursus etis-politik itu di tingkatkan tarafnya ke diskursus moral.

Diskursus moral itu memproblematisasi konsensus etis. Misalnya, bila fatwa MUI tadi lalu dipertanyakan validitasnya dalam konteks masyarakat majemuk, atau diskursus dalam media massa tentang mengapa keputusan itu bertentangan dengan norma-norma masyarakat majemuk, maka problem-problem itu memuat kualitas diskursus moral. Karena, para partisipan mencapai suatu konsensus di dalam horison kemanusiaan, bukan horison kelompok. Yang dibela bukanlah nilai-nilai sektarian, melainkan nilai-nilai universal.

Apa yang saya gambarkan di atas adalah teori. Tetapi apa yang terjadi jika itu muncul dalam praktik politik? Dalam konteks ini, saya menyampaikan kritik pada Habermas. Dalam praktik, apa yang disebut diskursus moral adalah sangat normatif. Diskursus moral hanyalah suatu idealisasi yang harus didekati. Sebenarnya yang selalu terjadi adalah diskursus etis politis.

Lalu apa artinya ada diskursus moral? Habermas memberikan jawaban bahwa para anggota deliberasi, forum warga, harus mempunyai intensi (tujuan) untuk melakukan diskursus moral. Forum warga yang kuat harus mempunyai kekuasaan. Dan kekuasaan dimiliki legislatif. Jadi, DPR harus menjadi teman, karena ia merupakan forum warga. Secara normatif, seharusnya mereka (DPR) memihak kita. Sebelum masuk dalam pro¬ses deliberasi, mereka (DPR) harus mempunyai intensi untuk melakukan diskursus moral. Kalau intensinya hanya sampai pada diskursus etis-politis, lagi-lagi yang dicapai adalah suatu konsensus parsial, yaitu hanya kepentingan kelompok atau partainya saja.

Prinsip Negara Hukum

Teori demokrasi deliberatif tidak mengakui revolusi, tetapi reformasi. Revolusi—dan itu selalu dengan kekerasan—tidak membiakkan partisipasi, bahkan mematikan partisipasi. Forum warga itu berupaya membangun partisipasi, dan ini hanya mungkin melalui reformasi, bukan revolusi.

Oleh karena itu, negara hukum dan konstitusi harus tetap ada sebagaimana adanya. Tetapi dalam teori demokrasi deliberatif, kanal-kanal komunikasi dalam negara hukum harus dibuka, sumbatan-sumbatan dihilangkan, akses dibuka, parlemen diharapkan semakin mendengar, koran berbicara keras mengontrol penyimpangan. Ini semua merupakan upaya-upaya untuk menarik perhatian pada sistem politik supaya kanal-kanal komunikasi dibuka, tetapi negara hukum tetap ada. Dengan demikian, prinsip-prinsip negara hukum harus tetap ada. Yaitu harus ada pembedaan antara state dan society. Batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati. Betapapun busuknya negara, menurut teori deliberasi, negara harus ada. Karena tanpa negara, ongkos politiknya akan sangat besar, terjadi tirani massa dan keuntungan akan diambil oleh para demagog dan provokator.

Teori ini sebenarnya dibangun berdasarkan pengalaman Nazi. Nazi merupakan gambaran di mana negara hukum macet. Di satu sisi, Nazi adalah kekuatan negara yang sangat besar. Itu hanya separoh kebenaran. Kebenaran yang lain adalah bahwa Nazi mencerminkan peranan kelompok masyarakat yang kuat atas kelompok yang lain. Negara hanyalah tunggangan dari kelompok yang kuat itu. Setiap saat hukum diubah-ubah seenaknya oleh Hitler. Hitler itu patuh pada hukum, tetapi hukum lebih patuh pada dia. Jadi, dia membuat hukum untuk menggolkan maksud-maksudnya.

Dalam negara hukum, civil society dan negara ada batas-batasnya. Demokrasi yang diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif atas pemerintah. Artinya, produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, namun bukan berarti publik mendikte pemerintah. Kalau batas-batas antara pemerintah dan masyarakat jebol, maka akan terjadi tirani kelompok, kemudian ada otonomi publik dan otonomi privat warga negara. Artinya, bahwa dewasa ini, kalau kita amati, media massa dimasuki belalai-belalai pemerintah. Pemerintah misalnya mengatur agar media massa itu jangan melaporkan hal ini dan itu. Sebenarnya, hal semacam ini menyalahi prinsip negara hukum. Media memiliki otonomi, dan oleh karena itu tidak boleh dikendalikan oleh modal dan birokrasi. Kalau mereka masih dikendalikan, tugas forum warga mendeteksi proses semacam itu dan menentang keras-keras se-hingga mereka merasa tidak nyaman.

Dalam politik, bahkan politik demokrasi, ada upaya untuk membeli suara publik. Memang, suara publik bisa dibeli. Tapi menurut Habermas, suara publik yang dibeli kalau ditelanjangi oleh publik sebagai suara yang dibeli, itu tidak bisa mempunyai kualitas publik lagi. Jadi, kita jangan terlalu pesimis bahwa forum deliberatif itu sia-sia dan hanya berlelah-lelah, dan kita hanya ngomong tanpa ada hasilnya. Karena kalau kita berbicara tajam dan bisa menelanjangi manipulasi-manipulasi dan itu relevan dengan kekuasaan, maka manipulasi itu akan tampak di permukaan dan akhirnya disadari oleh warga.

Kaitannya dengan ini, relevan menjelaskan tentang volante generale (kedaulatan rakyat). Kedaulatan rakyat sebenarnya adalah konsep yang sangat kabur, konsep plastis yang bisa dipakai di sana-sini. Dalam demokrasi, ada yang disebut kedaulatan rakyat. Jean Jaques Rousseau, penggagas konsep ini, mengatakan bahwa rakyat itu berdaulat kalau mereka berkumpul. Konsep ini cukup berbahaya, karena konsep ini sebenarnya konsep demagog. Seorang demagog bisa mengumpulkan orang dan mengatakan inilah kedau-latan rakyat.

Dalam teori demokrasi deliberatif terjadi apa yang disebut proseduralisasi kedaulatan rakyat. Kata prosedur yang dipakai Habermas, bahkan John Rawls, berarti proses. Proseduralisasi kedaulatan rakyat artinya adalah membuat kedaulatan rakyat sebagai proses komunikasi. Kapan rakyat berdaulat? Menurut teori deliberasi, kedaulatan terjadi bukan karena orang berkumpul dengan tubuhnya di suatu tempat sebagaimana diyakini JJ. Rousseau, tetapi juga harus ada komunikasi publik.

Dalam konteks ini, demokrasi representatif tetap diperlukan dengan sudut pandang yang berbeda. Yaitu mencoba melihat bahwa peranan komunikasi publik itu harus semakin besar. Jadi, kedaulatan rakyat terjadi bukan saja ketika rakyat berkumpul, tetapi juga ketika media massa memihak publik. Semakin suatu koran mempunyai kualitas yang berwibawa dan mampu mendesakkan aspirasi publik, maka ada kedaulatan rakyat. Tidak cukup dengan peran media, tetapi juga sebuah diskusi di antara warga negara yang peduli, misalnya terhadap pencemaran lingkungan, itu juga kedaulatan rakyat. Begitu juga obrolan yang kritis di warung-warung yang bersifat politis dan sangat peduli dengan problem sekitarnya juga disebut kedaulatan rakyat. Jadi, kedaulatan rakyat itu jangan dilihat sebagai substansi melainkan sebagai proses nasional, bahkan internasional, yang bergerak terus melalui aliran anonim komunikasi. Ini proseduralisasi dari kedaulatan rakyat menurut Habermas.

Praktik Demokrasi Deliberatif

Semua teori akan selalu berhadapan dengan datum (data) sosiologis. Apa yang terjadi dalam masyarakat? Yang kita lihat adalah kekuasaan modal, kekuasaan birokrasi, ketidakberdayaan rakyat. Kenyataan yang terjadi tentu saja tidak seindah dalam teori. Nah, bagaimana teori demokrasi deliberatif dipraktikkan dalam konteks masyarakat seperti Indonesia yang majemuk?
Untuk tahap permulaan, kalau negara baru bergerak dari otoritarianisme ke demokrasi, pasti terjadi kegagapan-kegagapan atau dalam psikologi politik ada sindrom anak kehilangan bapak. Tahap ini harus dilampaui, dan ini tidak mungkin dilampaui kalau partisipasi warga lemah. Tugas para penggerak, termasuk juga forum warga, adalah mencoba mendiseminasi partisipasi publik. Sehingga perlahan tapi pasti, tiran-tiran kecil itu merasa tidak nyaman. Kalau tahap itu dilampaui karena cukup banyak mata yang mengontrol kekuasaan dan cukup banyak komunitas yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan, maka kita masuk ke tahap berikutnya: tahap yang lebih deliberatif. Tahap ini sedang diusahakan, dan masih belum terjadi.

Sebenarnya, konsep civil society adalah konsep tua dalam teori politik. Konsep ini sudah dikenal dalam pemikiran John Lock, Thomas Hobbes, dan matang dalam pemikiran Immanuel Kant. Buku Immanuel Kant, Menuju Perdamaian Abadi: Sebuah Konsep Filosofis (Mizan: 2005), menjadi dasar dari teori-teori demokrasi, termasuk teori Habermas itu sendiri. Sebenarnya Habermas itu Kantian. Dari buku ini dipahami bahwa civil society adalah suatu masyarakat atau kelompok yang otonom, mandiri, dan lepas dari pengaruh pasar dan negara. Dia memiliki hak dan ruang yang boleh menentukan nasibnya sendiri.

Menurut penafsiran Kant, civil society itu terjadi kalau ada kebebasan berekspresi di dalam warga negara. Sebagai ilustrasi, kalau saya dan Anda berbeda kepentingan, dan dengan kewenangan saya memaksa Anda dan Anda dengan kewenangannya memaksa saya, nanti kewenangan Anda akan bertemu dengan kewenangan saya. Titik tengah dari pertemuan itu adalah kekebasan bersama.

Civil society itu terbentuk kalau, pertama, terjadi benturan kepentingan, dan kedua, kebebasan atas benturan kepentingan. Jangan sampai benturan kepentingan itu menjadi sesuatu yang saru (tabu). Jadi wajar jika masing-masing orang memiliki kepentingan yang berbeda.

Ada satu model untuk praktik yang dikemukakan Habermas, yaitu model bendungan; adanya aliran komunikasi dari forum-forum warga (civil society) menuju ke sistem politik (state). Sebenarnya model ini diambil dari teoretikus lain. Kalau kita lihat, civil society berbeda dengan ruang publik. Civil society adalah aktor dari ruang publik. Ruang publik (public sphare) adalah ruang komunikasi yang terbentuk ketika dua orang atau lebih menjalankan proses komunikasi. Apa yang terjadi dalam komunikasi? Dalam proses komunikasi ini yang terjadi adalah penyingkapan. Dengan demikian, ruang publik adalah ruang penyingkapan.

Apa yang terjadi di ruang publik? Habermas mengatakan bahwa apa saja bisa terjadi. Ruang publik itu anarki, segala tema bisa dijadikan problem dalam ruang publik. Tidak ada yang bisa melarang. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi tema ruang publik. Tapi, menurut Habermas, mesikpun anarkis, tidak berarti ruang publik itu tidak ada aturannya dan tidak ada prinsipnya. Ruang publik ada aturan dan prinsipnya. Dia mengatakan, ada prinsip yang terkait dengan rasio dan akal kita sendiri. Habermas percaya akal mempunyai mekanisme seleksi apakah opini tersebut memiliki kualitas publik atau tidak. Ketika opini semakin rasional dan semakin menyangkut kepentingan umum, maka kualitas diskursifnya akan masuk diskursus moral. Opini yang terjadi di ruang publik itu akan masuk pada filter. Filter itu adalah sistem hukum.

Apa yang dimaksud ruang publik itu bisa dibayangkan sebagai sistem saraf dalam negara hukum. Seharusnya, yang membayangkan adalah parlemen ataupun eksekutif. Kalau syarafnya peka, berarti ruang publik juga peka. Akibatnya, ini akan menolong proses deliberasi level atas. Tetapi, sebuah republik di mana DPR-nya tuli, maka ia akan membuat sumbatan-sumbatan pada filter itu, hukum yang menjadi filter tidak adil, ruang publik kacau balau, maka hancurlah semua. Tetapi andaikata ruang publik sudah begitu kritis, tapi filternya menghambat dan hukumnya tidak adil; atau DPR-nya mulai peka, tetapi proses demokrasi tidak berjalan, maka yang terjadi adalah keterasingan antara produk hukum dan kepentingan publik. Tapi andaikata sistemnya menghambat dan DPR-nya juga menghambat, berarti ini sudah kronis. Jika demikian, kata Habermas, rakyat bisa-bisa melakukan civil disobedience (pembangkangan sipil), mereka mengorganisasi diri untuk tidak patuh pada undang-undang. Kan tidak ada aturannya? Itu berdasarkan intuisi dan sense of justice (rasa keadilan masyarakat) dari masyarakat akan membimbing rasionalitas komunikatif untuk sampai pada suatu momen di mana masyarakat tidak tahan lagi dengan undang-undang ini, dan sekarang mereka akan mogok dengan UU tersebut. Lalu gerakan itu, bukan gerakan kekerasan, bukan gerakan untuk mengubah konstitusi, melainkan untuk menafsirkan konstitusi secara baru, jadi masih dalam bingkai negara hukum. Jadi ini mungkin terjadi dalam model bendungan ini.